Ketika Romantisme Bersekolah Terpasung Kapitalisme

Oleh: Sayuh

Peserta didik baru biasanya sangat antusias saat memasuki sekolah pertama kali, sekarang pudar karena pandemi Covid-19 dan parahnya hampir puluhan juta siswa dibodohkan secara masif oleh aturan, sedangkan kaum kapitalisme ambil momentum perkaya diri.

Romantisme bertemu guru dan kawan baru memudar, momentum berkenalan sebagai siswa dan tenaga pendidik terpasung keangkuhan Covid-19 kesenangan mengejar cita-cita seorang anak ditebas keserakahan kapitalisme.

Bersekolah sekarang harus bayar lebih mahal, di daerah Padang banyak anak-anak berusia belasan tahun harus belajar di kelok jalan raya demi lancarnya mendapatkan internet. Tentu saja ini sangat riskan untuk keselamatan anak-anak, karena di kelokan tersebut jurang.

Menempuh pendidikan sangat mahal di Indonesia, selain bertaruh nyawa untuk sampai ke sekolah juga harus berbayar mahal untuk beli kuota internet dan bayar SPP setiap bulan dan buku wajib LKS untuk setiap siswa.

Jika di Padang ada anak-anak belajar di tepi jalan raya kelok demi lancarnya internet, di lain tempat juga untuk sampai sekolah harus menyeberang jembatan rapuh di atas sungai. Ada juga anak-anak orang kaya dengan akses lebih mudah karena orang tuanya mampu memberikan fasilitas terbaik untuk pendidikan anaknya memiliki akses Wi-Fi.

Untuk kalangan menengah ke bawah orang tua dipaksa seperti memakan buah maja dengan adanya sistem pendidikan daring, bahkan sempat viral seorang ibu marah-marah ke anaknya karena setres perkara soal-soal yang harus dikerjakan saat mendapatkan tugas dari gurunya.

Sisi lain dari belajar jarak jauh ini romantisme siswa-siswi hilang, tidak ada keisengan murid laki-laki yang jahil pada murid perempuan. Bayangkan jaman dahulu saat masa orientasi sekolah, banyak hal-hal lucu dan tantangan diberikan kakak kelas pada siswa didik baru. Bahkan ada siswa yang jatuh cinta sama siswi baru saat pandangan pertama.

Pendidikan sekarang sudah dikapitalisasi oleh provider, sekarang kita berhitung jika ada setiap siswa sekali belajar daring google class room sekali pertemuan harus menyedot data 3 GB yang setara 10 ribu rupiah, berapa keuntungan pihak yang menyediakan jasa layanan internet?

“Bahwa kebiasaan menghafal itu tidak menambah kecerdasan, malah menjadikan saya bodoh, mekanis, seperti mesin. Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan.” Tan Malaka, Madilog (Materialisme dialektika logika) 12

Keponakanku di daerah Kalimantan Timur yang terkadang terkendala akses internet memberikan bantuan mengakses Wi-Fi dengan gratis pada anak-anak usia sekolah yang sedang mendapatkan tugas dari gurunya, bahkan anak yang tidak punya hape dipinjami untuk mengerjakan tugasnya. Apa yang dilakukan Gresti sebagai seorang ibu dua anak ini patut dicontoh oleh orang yang punya kelapangan rejeki untuk berbagi satu sama lain

Bukankah untuk mendapatkan pendidikan yang layak adalah hak setiap anak, Hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan telah dijamin oleh UUD tahun 1945 pasal 31 ayat 1. Hak tersebut dimanfaatkan oleh rakyat Indonesia dengan tujuan jangka panjang untuk membangun bangsa ini. Pemerintah sudah menabrak legalitas UUD tentang pendidikan.

Semoga ada Gresti lain di belahan bumi Indonesia yang peduli dengan kesulitan-kesulitan anak-anak yang harus belajar jarak jauh. Saatnya kita semua peduli dan mulai dari diri sendiri. Orang yang paling susah dalam dunia pendidikan saat tugas belajar-mengajar adalah siswa dan guru yang dalam keterbatasan.

Dalam pidato Presiden Republik Indonesia di tahun 2019 mengenai Nota Keuangan APBN tahun anggaran 2020 menyebutkan bahwa, “anggaran pendidikan pada 2020 sebesar Rp 505,8 triliun. Anggaran ini hanya naik 2,7% dari tahun sebelumnya yaitu sebesar Rp 492,5 triliun. Padahal, di tahun 2019 anggaran pendidikan mengalami peningkatan sebesar 11,3%.”

Anggaran pendidikan yang sebesar itu, bisa saja diselewengkan oleh pemangku jabatan yang terkait dengan pendidikan, toh duit bisa menggelapkan mata seseorang. Sehingga pendidikan di daerah dan perkotaan sangatlah jomplang, siapa yang patut disalahkan?

Tidak mungkin seorang guru honorer yang harus dijadikan kambing hitam atas kesalahan ke mana larinya duit anggaran pendidikan, negaraku terpasung kapitalisme. Upaya men-degradasi pendidikan agar semakin banyak orang bodoh di Indonesia, lalu dikuasai oleh.

Sedikit saran untuk Mendikbud Nadiem Makarim seharusnya bekerja sama dengan pihak provider untuk memasang Wi-Fi di setiap balai desa, khusus anak-anak usia belajar yang sedang mengerjakan tugas. Sediakan solusi agar generasi penerus bisa akses internet yang terkendala keterbatasan biaya dan sinyal.(*)

Bagikan Melalui