Libur Panjang Dan Unjuk Rasa Jadi Potensi “Silent Case” COVID-19

Jakarta – Libur panjang yang akan datang pada akhir Oktober ini dan ramainya aksi unjuk rasa dari berbagai masyarakat untuk menolak Omnibus Law disebut berpotensi untuk memunculkan kasus baru  virus COVID-19.

Dilansir dari CNNIndonesia.com karena hal ini Epidemiolog dari Univertas Griffith Dicky Budiman menyarankan, kedua kegiatan tersebut harus dibarengi dengan tes COVID-19 secara masif dan serius. Jika tidak, ia khawatir justru kasus baru akan muncul diam-diam atau menjadi silent case.

“Libur panjang dan klaster demonstrasi bisa menjadi silent case bila testingnya ikutan silent juga” kata Dicky saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (21/10).

Terkait hal ini, menurut Dicky, potensi kenaikan dari silent case bakal lebih berbahaya. Mengingat penularan COVID-19 dari orang tanpa gejala (OTG) juga rentan menjadi penular ketika mereka menginfeksi kelompok yang rentan seperti orang tua dan orang dengan penyakit penyerta (komorbid).

Selain itu deteksi dan penelusuran kontak erat juga akan kian susah. Sebab pasien COVID-19 OTG seringkali merasa sehat sehingga tetap beraktivitas padahal berpotensi menularkan virus ke orang lain. Hal ini dikhawatirkan bisa terjadi pada lingkaran peserta aksi unjuk rasa 20 Oktober lalu dan warga yang kelak berlibur. Dicky menjabarkan, aksi demonstrasi akan lebih rentan menjadi klaster baru lantaran protokol menjaga jarak jelas tidak dipatuhi.

“Kondisi Indonesia yang sudah banyak klaster, kemudian ditambah misalnya klaster demo dan libur panjang, maka akan menjadi relatif sulit terdeteksi, ini klaster mana asalnya ? karena sudah campur baur,” kata dia.

Deteksi dan pemetaan kasus mungkin akan menjadi semakin rumit ketika kasus bercampur, antara kemungkinan yang tertular dari klaster demo dengan klaster libur panjang. Apalagi jika dilihat dari dua kali libur panjang sebelumnya juga mengakibatkan kenaikan kasus. Ini juga yang membuat Dicky memperkirakan jika libur panjang akhir Oktober akan berpotensi memunculkan lonjakan kasus COVID-19 karena di berbagai negara juga telah terjadi pelonjakan kasus COVID-19 saat libur panjang.

“Fenomena rata-rata, memang kalau saya lihat di Italia, Prancis, Spanyol, setelah libur panjang ada 30 persen naiknya kasus, dan kita pernah mengalami itu (penaikan kasus) 30 persen setelah libur HUT RI,” terangnya.

Oleh sebab itu, Dicky kembali mengingatkan pemerintah untuk selalu tanggap dan serius melakukan 3T (testing, tracing, dan treatment). Sementara untuk warga ia mengingatkan untuk tetap patuh terhadap 3M (memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak).

Jika upaya itu tidak terpenuhi maka Dicky memprediksi fasilitas dan tenaga kesehatan akan kewalahan.

“Bila kondisi terus menerus seperti ini, klaster semakin banyak dan testing minim, maka bisa dipastikan kondisi fasiltas kesehatan tak terbendung,” kata Dicky.

Terpisah, Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito sebelumnya menyatakan bakal mengantisipiasi sejumlah tempat yang berpotensi menimbulkan kerumunan dan penularan virus COVID-19 pada masa libur panjang dan cuti 28 Oktober – 1 November ini.

Sebelumnya, Wiku sempat pula menyinggung potensi lonjakan kasus klaster demonstrasi bakal menjadi fenomena gunung es di tanah air.

“Ini dalah cerminan puncak gunung es dari hasil pemeriksaan yang merupakan contoh kecil saja bahwa virus ini dapat menyebar cepat dan luas, dan angka ini diprediksi meningkat dalam 2-3 minggu ke depan,” kata Wiku dalam konferensi pers yang disiarkan melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden, pada selasa (13/10) lalu.

Sebab itu dalam konferensi pers sebelum aksi demonstrasi dimulai, Wiku meminta perguruan tinggi dan perusahaan untuk menyediakan fasilitas pemeriksaan COVID-19 secara massal untuk mahasiswa dan buruh yang mengikuti demo. Selain itu, Wiku juga mengimbau penyediaan lokasi karantina mandiri jika ada mahasiswa atau buruh yang dinyatakan reaktif maupun positif COVID-19.

Sementara menurut Dicky, yang paling bertanggung jawab untuk menyediakan fasilitas pemeriksaan bagi para demonstran dan pelaku wisata adalah pemerintah itu sendiri. Akan tetapi bila pihak kampus atau perusahaan mampu dan bersedia untuk menyediakan fasilitas pemeriksaan, hal ini tidak menjadi masalah dan justru akan lebih baik.

(CNN/ZA)

Bagikan Melalui