Pasar tradisional tak seramai pasar modern, BST untuk jaga gengsi

Oleh: Kris Hendrijanto, S.Sos., M.Si

Dosen Fakultas Fisip/ Ilmu Kesejahteraan Sosial

Ada fenomena menarik yg saya lihat dalam beberapa hari terakhir ini di kota Jember. Seiring dengan mulai digelontorkannya bantuan sosial (social safety net) dalam bentuk Bantuan Sosial Tunai, masyarakat mulai memadati pasar-pasar modern, di tengah intensifnya himbauan social distancing & physical distancing di masa pandemi virus Corona ini, sementara pasar tradisional jadi tampak jauh lebih sepi dari pembeli. Di pasar modern itu, mereka menyerbu display yang memajang berbagai jenis pakaian, mulai baju anak-anak hingga baju dewasa.

Fenomena tersebut mengindikasikan bahwa saat ini masyarakat lebih membutuhkan baju untuk persiapan lebaran yang tinggal beberapa hari ke depan, ketimbang membeli kebutuhan pokok sehari-hari. Dan hebatnya lagi, mereka seperti tidak merasa khawatir akan adanya ancaman virus Corona yang penyebarannya nyaris semakin tak terkendali setidaknya hingga sekarang ini. Mereka berjubel dan berebut memilih-milih baju serta mengantri pembayarannya di depan kasir. Memang hampir semua dari mereka sudah memakai masker. Baginya, masker sudah akan cukup ampuh untuk menghindarkan diri dari penyebaran virus Corona.

Sejumlah uang yang diberikan secara cuma-cuma oleh Pemerintah melalui bantuan sosial tunai(BST), seolah dimaknai sebagai rejeki nomplok, sehingga penggunaannya pun seakan tidak perlu harus dengan penuh kehati-hatian dan kecermatan (penghematan). Ada gejala euforia, hedonis dan juga konsumeris pada diri mereka, sedemikian hingga mereka ingin memaksimalkan pemanfaatan bantuan sosial tunai tersebut untuk mendapatkan kesenangan dan menjaga gengsinya di hari lebaran nanti. Karena membeli baju lebaran di pasar tradisional dipandangnya sudah tidak akan memberikan kepuasan lebih bagi mereka. Luar biasa, bantuan sosial tunai sudah mampu menaikkan kelas sosial mereka, meski hanya sesaat. Dan memang pasti hanya akan sesaat. Hal ini yang sangat saya khawatirkan kemudian adalah bahwa besok atau lusa mereka sudah akan kembali terpuruk dengan kesulitan-kesulitan hidupnya lagi seperti sebelumnya, yang menjelma dalam bentuk tdk bisa bekerja, sulit mendapatkan penghasilan, kekurangan bahan makan, lalu akan terus berharap dan bergantung pada bantuan-bantuan sosial berikutnya.

Ketidakmampuan masyarakat dalam mengelola bantuan, terutama pada saat pandemi seperti ini, menjadi beban bagi pemerintah. Disatu sisi pemerintah ingin memberikan bantuan untuk masa pandemi di satu sisi, masyarakat yang menerima bantuan masih belum sadar dengan batuan sosial yang di berikan pemerintah tersebut untuk mencukupi kebutuhan bukan untuk menaikkan status sosial pada saat pandemi ini.(*)

Bagikan Melalui