Pekanbaru- Bidang Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Pekanbaru, Provinsi Riau, menetapkan tersangka baru dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi penyimpangan kredit senilai Rp1,2 miliar PT Permodalan Ekonomi Rakyat (PER).
Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Riau Yuriza di Pekanbaru, Rabu, mengatakan tersangka ke empat itu adalah mantan Direktur Utama PT PER periode 2011-2015 berinisial IPY atau Irhas Pradinata Yusuf.
“Sudah. Sudah gelar perkara. Tersangkanya sudah ada. Mantan salah satu petinggi di sana (PT PER). Inisialnya IPY,” kata dia.
Irhas Pradinata Yusuf menjadi tersangka keempat perkara dugaan korupsi di PT Permodalan Ekonomi Rakyat (PER). Direktur Utama (Dirut) PT PER periode 2011-2015 itu bakal menyusul tiga tersangka sebelumnya yang telah dijebloskan ke penjara.
Penetapan Irhas sebagai salah satu pihak yang dinilai bertanggung jawab dalam penyimpangan kredit senilai Rp1,2 miliar itu dilakukan dalam penyidikan lanjutan perkara itu.
Yuriza mengatakan pihaknya telah menerbitkan surat penetapan tersangka. Surat itu telah ditandatangani oleh Kepala Kejari (Kajari) Pekanbaru, Andi Suharlis. “Hari ini ditandatangani Pak Kajari,” imbuh dia.
Dengan adanya tersangka baru itu, penyidik kata dia, akan segera merampungkan berkas perkaranya, dengan pemeriksaan saksi-saksi guna mengumpulkan alat bukti lainnya. “Akan kita panggil saksi-saksi untuk melengkapi berkas perkaranya,” pungkas Yuriza.
Sebelumnya, sudah ada tiga nama yang ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara ini. Mereka adalah Irfan Helmi, mantan Pimpinan Desk PMK PT PER, dan Irawan Saryono, salah seorang Ketua Kelompok Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang menerima dana kredit dari Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Provinsi Riau itu. Seorang tersangka lainnya adalah Rahmawati, Analisis Pemasaran PT PER.
Ketiganya telah dijebloskan ke sel tahanan. Saat ini, perkaranya telah bergulir ke persidangan.
Berdasarkan hasil penyidikan yang dilakukan, setidaknya ada empat perbuatan menyimpang yang dilakukan para tersangka terkait kasus dugaan korupsi yang menjerat mereka.
Pertama adalah penyimpangan angsuran pokok dan bunga kredit, kedua penyimpangan pencatatan laporan angsuran normatif kredit, ketiga pemberian fasilitas kredit, dan yang terakhir pelanggaran dalam penggunaan fasilitas kredit.
Adapun modus mereka, yakni memberikan kredit bakulan sebagai modal usaha kepada tiga debitur. Namun dalam pengembalian pinjaman debitur, dana tersebut tidak disetorkan ke perusahaan melainkan digunakan untuk kepentingan pribadi.
Diduga terjadi penyimpangan atas penerimaan angsuran pokok dan bunga pada tujuh perjanjian kredit atas nama tiga mitra usaha terkait perjanjian kredit sebesar Rp1.298.082.000, atas pencatatan laporan nominatif kredit 31 Desember 2014 hingga 31 Desember 2017.(ANT/AN)