Jakarta, 25/6 – Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Iwan Syahril mengatakan guru yang memiliki komitmen tinggi dan memahami pembelajaran yang berpihak pada murid perlu didorong untuk menjadi pemimpin atau kepala sekolah.
“Secara sosiokultural, Indonesia masih sangat dipengaruhi budaya feodal. Perubahan dalam budaya ini akan terjadi dengan lebih cepat dan sukses jika pemimpinnya adalah pemimpin yang transformatif,” katanya di Jakarta, Kamis.
Ia mengatakan studi komparatif yang dilakukan melalui kolaborasi McKinsey & Company dan The National College for Leadership of Schools and Children’s Services di 2010 menyimpulkan bentuk kepemimpinan yang sangat diperlukan untuk kesuksesan sekolah adalah kepemimpinan yang berfokus pada pengajaran, pembelajaran, dan manusia yang ada di sekolah.
Kepala sekolah, katanya, harus mumpuni dalam kepemimpinan pembelajaran. Kepala sekolah juga harus memahami pembelajaran yang berorientasi pada murid.
Selain itu, juga harus piawai dan aktif dalam mengembangkan guru-guru di sekolah melalui mentoring. Pemilihan pemimpin sekolah adalah salah satu keputusan terpenting dalam sistem pendidikan.
“Pemangku kepentingan di komunitas perlu bersinergi dalam peningkatan kualitas guru dan pemimpin sekolah. Pemerintah menjadi pemberdaya (enabler) kolaborasi. Sekolah yang sudah dapat menerapkan ‘instructional leadership’ perlu bergerak untuk menjadi mentor bagi calon pemimpin sekolah dan sekolah lainnya. Inilah sekolah-sekolah penggerak,” katanya.
Selain itu, komunitas atau organisasi pendidikan yang telah menjalankan model-model pelatihan yang sudah terbukti efektif dalam meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar murid perlu berdaya untuk mendorong terbentuknya sekolah penggerak.
Pendidikan profesi calon guru, kata dia, juga harus menghasilkan generasi guru baru yang berorientasi pada murid. Selain memiliki kompetensi untuk pengetahuan dan praktik profesional, guru generasi baru Indonesia harus berakhlak mulia, bernalar kritis, mandiri, kreatif, gotong royong, dan berkebinekaan global.
“Mereka memiliki renjana (gairah) menjadi guru dan memandang anak dengan rasa hormat,” katanya.
Pemilihan pemimpin sekolah, lanjut dia, salah satu keputusan terpenting dalam sistem pendidikan. Guru generasi baru mesti miliki berjiwa Indonesia dan merupakan pembelajar sepanjang hayat yang menguasai teknologi pembelajaran.
Untuk itu, dibutuhkan revitalisasi pendidikan profesi guru yang fundamental dan komprehensif. Seleksi masuk harus berstandar tinggi yang menekankan bukan saja pada penguasaan konten, tetapi yang terpenting pada asesmen disposisi calon guru.
“Calon peserta pendidikan profesi guru memang memiliki kemauan kuat untuk menjadi guru, bukan karena motif lain, seperti karena ingin menjadi PNS (pegawai negeri sipil),” katanya.
Selain itu, diperlukan model-model alternatif dalam pendidikan profesi guru melalui ekspansi penyelenggara pendidikan profesi yang berkualitas dunia. Kurikulum pendidikan profesi guru perlu lebih berorientasi praktik pembelajaran yang berpusat pada murid.
Pengajarnya harus memiliki pengalaman mengajar di sekolah dan pemahaman konteks praktik pemelajaran berorientasi kepada murid.
“Ibarat di profesi kedokteran, tak mungkin seorang calon dokter bedah dibimbing oleh dokter yang tidak pernah melakukan operasi bedah di rumah sakit. Asesmen di pendidikan profesi guru harus menekankan pada kemampuan untuk praktik pembelajaran berorientasi pada murid dan kualitas refleksi,” katanya.
Selanjutnya, kata dia, budaya belajar guru dalam jabatan perlu diperkuat. Pusat pengembangan keprofesian guru dan pemimpin sekolah perlu dikembangkan di setiap provinsi. Pusat itu bersifat inklusif, menjadi tempat bertemunya berbagai pemangku kepentingan seperti guru, pemimpin sekolah, organisasi profesi, akademisi, penggiat dan komunitas pendidikan serta pemerintah.
Kebutuhan belajar guru difasilitasi secara relevan sesuai konteks tantangan praktik yang dihadapinya. Diperlukan diferensiasi pembelajaran guru untuk meningkatkan efisiensi dan dampak terhadap praktik pengajaran. Dalam hal itu yang terpenting, semua guru dan pemimpin sekolah harus dapat mengembangkan kemampuan mengajar yang sesuai dengan tingkat perkembangan murid.
Asesmen di pendidikan profesi guru harus menekankan pada kemampuan untuk praktik pembelajaran berorientasi pada murid dan kualitas refleksi.
“Akhirnya semua upaya peningkatan kualitas guru dan pemimpin sekolah haruslah berpijak pada prinsip bahwa semua guru yang mengabdi harus mendapatkan penghasilan yang layak. Tidak boleh ada guru yang mendapat gaji di bawah standar minimum yang layak. Untuk mengatasi ini selain dibutuhkan penyelesaian masalah guru honorer dan perencanaan formasi guru yang lebih baik,” katanya.
“Kemendikbud perlu melakukan dialog intensif lintas kementerian untuk mencari solusi efektif untuk menjamin kesejahteraan semua guru,” tambahnya.
Pembenahan regulasi
Ia mengatakan transformasi guru dan pemimpin sekolah ini membutuhkan pembenahan regulasi. Model kompetensi guru dan kepala sekolah yang saat ini bersifat stagnan perlu direvisi dengan pendekatan developmental (kontinuum). Jenjang karier guru dan pemimpin sekolah perlu diintegrasikan dengan tahap perkembangan dari perekrutan dan promosi guru sepanjang kariernya.
“Selain itu tunjangan guru diarahkan untuk berbasis kinerja sehingga dapat memacu kualitas pengajaran secara konsisten. Tata kelola guru dan kepala sekolah antara pusat dan daerah perlu disinergikan lebih baik lagi terutama untuk memastikan diangkatnya pemimpin-pemimpin sekolah yang memiliki kemampuan sebagai pemimpin pembelajaran (instructional leader),” katanya.
Transformasi guru dan pemimpin sekolah membutuhkan pembenahan regulasi. Perwujudan ekosistem guru dan pemimpin sekolah yang profesional mensyaratkan pula ekosistem organisasi profesi yang kuat.
Selain itu,organisasi profesi harus jadi sumber inovasi yang memajukan ilmu, etika, dan kualitas layanan profesi guru.
“Yang terpenting, semua organisasi profesi harus memegang teguh asas yang dikumandangkan Ki Hajar Dewantara pada saat pendirian Taman Siswa hampir 100 tahun lalu. Bebas dari segala ikatan, dengan suci hati mendekati sang anak, tidak untuk meminta sesuatu hak, tetapi untuk berhamba kepada sang anak,” katanya.
Orientasi pada murid, atau “berhamba pada sang anak” itu seyogyanya menjadi orientasi utama semua pemangku kepentingan dalam transformasi guru dan pemimpin sekolah.
Transformasi guru dan pemimpin sekolah, lanjut dia, harus menjadi sebuah gerakan bersama, gerakan gotong royong. Menjadi guru harus menjadi sebuah kebanggaan.
“Guru adalah sebuah profesi yang mulia dan terhormat. Status sosial ekonomi guru semestinya sama dengan profesional lain karena peran guru sangat penting dalam pembangunan bangsa. Guru adalah inspirasi dalam menyikapi perkembangan zaman. Guru adalah roh pergerakan bangsa menggapai cita-citanya. Guru adalah agen perubahan karakter warga negara. Mari bersama-sama bergerak dan berjuang menuju terciptanya guru dan pemimpin sekolah Indonesia berkelas dunia,” demikian Iwan Syahril. (ANT/ZA)