Jakarta- Pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah mengatakan tempat hiburan berpotensi menjadi klaster baru COVID-19 apabila tidak mengikuti protokol kesehatan sesuai kebijakan Pemprov DKI Jakarta.
“Menurut saya ini berpotensi sekali munculnya klaster baru setelah pasar dan area CFD apabila protokol kesehatan tidak dipatuhi,” kata Trubus saat dihubungi, Jumat.
Itulah mengapa Jakarta Pusat sempat menjadi kawasan tertinggi penyebarannya se-Indonesia, ucap Trubus, dikarenakan banyaknya relaksasi bagi tempat nongkrong yang menjadi pemicu penularan COVID-19.
“Kan kita konsennya pada akar persoalan. Istilahnya, horizontal scanning, ada pada akar persoalannya yaitu penyebaran virus. Yang harus ditanggulangi adalah semua kegiatan harus berkonsentrasi bagaimana memutus mata rantai penyebaran virus itu sendiri,” tuturnya.
Masih adanya tempat hiburan malam yang membandel, kata Trubus, akibat lemahnya pengawasan terhadap kewajiban yang dibebankan bagi pemilik tempat hiburan.
“Tapi yang terjadi kan penempatan tanda silang sebagai penjagaan jarak, hanya ‘lip service‘. Kesannya menipu bahwa tempat tersebut sudah layak dikunjungi. Pengawasannya lemah sekali. Menurut saya harus ada semacam rem kebijakan di mana yang melanggar diberikan sanksi sesuai Pergub 47 tahun 2020 terkait sanksi,” ujar dia.
Lebih lanjut, Trubus menyebut Pemprov DKI Jakarta harus mengeluarkan semacam sertifikat bagi tempat hiburan yang layak dikunjungi karena memenuhi standar protokol kesehatan.
“Yang diutamakan kan masalah kesehatan. Jadi, tempat hiburan yang belum layak untuk dibuka ya jangan dibuka. Jangan diberi toleransi berlebihan,” ucap dia.
Lebih lanjut, Trubus menilai Pemerintah Provinsi DKI Jakarta diskriminatif dalam menegakan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 51 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Transisi dengan adanya tempat hiburan malam atau nongkrong yang buka dengan tanpa menerapkan protokol kesehatan.
Berdasarkan ketentuan dari Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, tempat hiburan malam dan sejenisnya hanya bisa beroperasi saat PSBB Transisi memasuki fase dua atau tiga dengan catatan kasus COVID-19 tidak naik signifikan.
“Ini kan perlakuan diskriminatif namanya, masyarakat bawah harus taat protokol kesehatan tapi kelas menengah dibiarkan berkerumun di klub malam. Itu dikhawatirkan ada invisible hand yang membackup itu, orang-orang punya kekuatan membackup mereka sehingga tempat hiburan malam tetap beroperasi,” kata Trubus.(AN)