Jakarta, 01/7 – Pakar hukum tata negara Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar Dr. Fahri Bachmid, SH, MH, menilai ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) untuk calon presiden dan calon wakil presiden pada Pemilu 2024 dan seterusnya idealnya ditiadakan.
“Saatnya kita tinggalkan paradigma monopolistik partai dalam pengajuan capres dan cawapres. Biarlah rakyat memilih dengan banyak kandidat capres-cawapres, serta hentikan praktik politik yang bercorak oligarkis agar demokrasi yang terbangun adalah benar-benar demokrasi yang substantif,” katanya, melalui pernyataan tertulis, di Jakarta, Selasa malam.
Hal tersebut disampaikannya saat menjadi pembicara dalam kegiatan webinar yang diselengarakan oleh Fakultas Hukum UMI Makassar, dengan tajuk “RUU Pemilu Dan Presidential Threshold Dilihat Dari Aspek Konstitusi”.
Menurut Fahri, rakyat telah rindu dengan suguhan menu calon-calon presiden yang berkualitas serta negarawan.
Untuk itu, katanya, sistem yang dibangun hendaknya lebih akomodatif serta memastikan untuk munculnnya calon-calon presiden alternatif agar rakyat mempunyai banyak preferensi politik atas kandidat presiden yang dimunculkan partai politik, sebagaimana yang dikehendaki oleh konstitusi.
Ia mengatakan ambang batas pencalonan presiden 20 persen tidak sejalan dengan “spirit” konstitusi dan tidak konstitusional sehingga MK tak boleh membiarkan adanya pelanggaran konstitusi yang dilakukan penyelenggara negara, terkait UU Pemilu.
“Jika norma serta pranata ‘presidential threshold’ masih tetap dipertahankan dalam rumusan RUU Pemilu yang akan datang, dan pada saat yang sama ada warga negara yang berkehendak men-‘challenge’ ke pengadilan, maka kami berharap MK sebagai penjaga konstitusi dapat merubah pendiriannya untuk tidak lagi menolerir adanya pelanggaran konstitusi oleh penyelengara negara, termasuk DPR dan pemerintah yang sedang mengodok RUU Pemilu ini,” ujarnya.
Berdasarkan desain konstitusional terkait Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang diatur dalam ketentuan norma pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”.
Kemudian ketentuan pasal 22E ayat (2) yang mengatur tentang Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota DPR RI, DPD RI, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta ayat (3) ketentuan ayat (3), mengatur tentang Peserta Pemilihan umum untuk memilih anggota DPR RI, dan anggota DPRD adalah partai politik.
Dengan demikian, Fahri menegaskan bahwa berdasarkan bangunan sistem Pemilu presiden yang demikian itu, secara konstitusional tidak dapat ditafsirkan sebaliknya dengan pranata “presidential threshold” sebagaimana diatur dalam norma pasal 222 UU RI Nomot 7 Tahun 2017.
Ketentuan itu, kata dia, mengatur pasangan Capres yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperolah 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
“Ini merupakan pranata serta norma yang sangat “oligarkis”dan tidak sejalan dengan ‘spirit’ konstitusi,” tegasnya.
Oleh karena itu, kata Fahri, menghapus ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden penting dilakukan dalam rangka dan sebagai sebuah upaya ikhtiar yang sunguh-sungguh untuk menegakkan prinsip negara hukum yang demokratis dan penegakan supremasi konstitusi serta paham konstitusionalisme yang dianut saat ini. (ANT/ZA)