Menolak Lupa, Tepat 16 Tahun Munir Dan Hari Perlindungan Pembela HAM RI

Jakarta – Hari ini, 7 September 2020 tepat 16 tahun meninggalnya Munir Said Thalib. Tragedi ini terjadi pada saat ia berada di dalam penerbangan pesawat Garuda Indonesia ke Belanda untuk melanjutkan studinya di Universitas Utrecht pada 7 September 2004 lalu. Hasil autopsi menunjukkan Munir tewas karena racun arsenik.

Dilansir dari CNNIndonesia.com Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan bahwa hari meninggalnya Munir sudah selayaknya dimahfumi sebagai Hari Perlindungan Para Pembela HAM Indonesia.

“Pentingnya 7 September sebagai Hari Perlindungan Para Pembela Ham, bukan hanya untuk mengenang Cak Munir, namun lebih jauh adalah merawat semangat dan ide perlindungan pembela HAM Indonesia itu sendiri agar keadilan dan kesejahteraan berbasis HAM terwujud di Indonesia,” kata Choirul dalam siaran pers yang diterima CNNIndonesia.com, Senin (7/9).

Choirul mengatakan, 7 September juga menjadi hari duka bagi gagasan tata kelola negara berbasis HAM di Indonesia. Ia pun mengenang berbagai gagasan dan sepak terjang Munir semasa hidupnya. Munir adalah pejuang HAM yang kerap memperjuangkan hubungan sipil dengan militer agar bias dikelola dengan system demokrasi berbasis HAM. Menurutnya, jika hubungan sipil dengan militer bisa berjalan sesuai dengan yang diperjuangkan Munir, tentu peristiwa dan berbagai aksi kekerasan yang kerap melibatkan konflik antara sipil dan militer tak akan terjadi pada saat ini. Salah satu contohnya adalah peristiwa Mapolsek Ciracas.

“Peristiwa Mapolsek Ciracas yang diserbu, atau berbagai kasus kekerasan lainnya yang melibatkan hubungan sipil militer tidak akan terjadi. Dan negara kita akan memiliki militer yang tangguh dan lebih profesional dalam pertahanan negara,ujarnya.”

Selain itu, menurut Choirul, Munir juga berhubungan dengan perlindungan para pembela HAM. Menurutnya, Munir memandang pembela HAM memiliki kontribusi dalam berbagai usaha untuk memperbaiki kondisi negara kita, termasuk juga membangun kesejahteraan.

Bagi Munir para pembela HAM tak hanya dipahami sebagai aktivis HAM yang berada di garis depan melawan kekerasan. Mereka adalah sosok inisiator di kampong, desa, hingga hutan yang memperkuat ekonomi, merawat hutan, menyelamatkan binatang, hingga tenaga pendidikan di berbagai pelosok yang melawan buta huruf dan akses pendidikan adalah para pejuang HAM. Karena itu, Choirul menyatakan bahwa peran Munir sangatlah besar.

“Peran Cak Munir dalam kampanye perlindungan pembela HAM sangat besar, dan Cak (Munir adalah) salah satu pioneer dalam pembelaan para pembela HAM di Indonesia,” ujarnya.

Meski begitu,kata Choirul, tak dapat dipungkiri, usaha para pembela HAM kerap tak berbanding lurus dengan perlindungan yang diberikan negara. Tak sedikit dari mereka yang mendapat kekerasan, kriminalisasi, stigma atau bahkan perlakukan lain yang kejam.

“Pada posisi inilah Cak Munir dengan beberapa kolega mendirikan organisasi Imparsial,” katanya.

Peristiwa tewasnya Munir pada 7 September silam yang terjadi di dalam penerbangan beliau dari Jakarta menuju Amsterdam, Belanda untuk melanjutkan studinya di negeri Kincir Angin itu. Hasil autopsi menunjukkan bahwa Munir tewas karena racun arsenik (racun yang mematikan dan sulit terdeteksi lantaran tidak berbau, berwarna, dan tidak memiliki rasa ketika tertelan). Penyelidikan saat itu dilakukan, namun pada saat itu menurut kelompok masyarakat sipil baru pelaku lapangan yang ditindak dan otak dari peristiwa itu masih berkeliaran.

Proses persidangan kasus pembunuhan Munir menjerat 2 orang. Mereka adalah bekas pilot Garuda Indonesia Pollycarpus Budihari Priyanto dan Direktur Utama Garuda Indra Setiawan. Indra divonis setahun penjara, sementara Pollycarpus divonis 14 tahun penjara, dengan remisi total 4 tahun 6 bulan 20 hari dan kini telah bebas.

Sementara itu, Mantan sekretaris Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Munir, Usman Hamid sempat meminta Presiden Joko Widodo membuka seluruh hasil penyelidikan TPF terkait pembunuhan Munir.

Pemerintah mengumumkan hasil penyelidikan TPF Kasus Munir dimuat dalam Keputusan Presiden Nomor 111 tahun 2004 pada era Presiden SBY. Dalam poin kesembilan Keppres tentang Pembentukan Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir itu disebut, pemerintah mengumumkan hasil penyelidikan TPF kepada masyarakat.

Namun, Pemerintah mengklaim dokumen TPF hilang. Padahal sejak lama TPF telah memberikan dokumen hasil penyelidikan itu kepada pihak Kementrian Sekretariat Negara.

(CNN/ZA)

Bagikan Melalui