LINTAS7NEWS – Fakta dari Pusat Pelaporan dan Analisis Keuangan (PPATK) tidak bisa disangkal judi online telah merambah ke berbagai lapisan masyarakat Indonesia, tercatat lebih dari 3,29 juta pemain dengan total deposit mencapai Rp 34,5 miliar pada tahun lalu.
Dilengkapi dengan informasi dari Menko Polhukam, kami melihat bahwa nilai transaksi judi online telah mencapai Rp 100 triliun pada kuartal pertama tahun 2024, menunjukkan betapa signifikannya aktivitas ini dalam perekonomian nasional.
Dampak buruk dari judi online tidak bisa diabaikan lagi. Beberapa individu mengalami kesulitan keuangan parah hingga titik di mana mereka mengambil keputusan tragis untuk mengakhiri hidup mereka.
Kehadiran judi online ilegal tidak hanya mengganggu masyarakat, tetapi juga menempatkan aparat penegak hukum dalam situasi yang rumit, di mana mereka dapat tergoda untuk melanggar integritas mereka sendiri.
baca juga : PSSI dan 3 Klub Bola Dipolisikan Terkait Sponsor Judi Online
Pada tanggal 8 Juni 2024, di Mojokerto, Jawa Timur, gelombang kejutan dan kebingungan melanda setelah seorang polisi wanita (Polwan) berinisial FN (28) diduga terlibat dalam insiden tragis yang menggemparkan: membakar suaminya sendiri, Briptu RDW (28), juga seorang anggota kepolisian.
FN tega membakar suaminya sendiri setelah mengetahui rekening bank milik suami yang berisi gaji ke-13 senilai Rp 2.800.000 berkurang menjadi Rp 800.000 karena digunakan untuk berjudi.
Sempat dilarikan ke rumah sakit, Briptu RDW tetap tidak terselamatkan. Kasus ini tengah ditangani oleh Polda Jawa Timur (Jatim).
“Kegagalan dalam Nama Kesejahteraan: Membongkar Paradoks Program Sosial”
Pakar psikologi forensik dan kriminolog, Reza Indragiri Amriel, menegaskan pentingnya penggunaan kata ‘korban’ dengan tepat dalam konteks penanganan judi online terkait dengan program bantuan sosial (bansos) oleh pemerintah.
baca juga : Kasus Indra Kenz Berakhir dengan Vonis 10 Tahun Penjara dan Aset Dirampas Negara
Dia menegaskan bahwa istilah ‘korban’, yang belakangan disematkan oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy, tidak relevan karena sebenarnya mereka adalah pelaku aktif dalam perjudian.
menurutnya, sangat jelas bahwa hukum menganggap judi atau kegiatan perjudian sebagai masalah pidana, sehingga tidak pantas menggunakan istilah ‘korban’.
Menurut Reza, narasi yang disampaikan Menko PMK mencerminkan fenomena budaya victimhood, di mana pelaku pelanggaran hukum dan individu yang hidup dalam kecukupan diposisikan seolah-olah mereka yang seharusnya mendapat simpati dan dukungan,” ujar Reza pada malam Selasa, 19 Juni 2024.
Lebih lanjut, dengan menggunakan istilah ‘korban’, Reza menggarisbawahi bahwa para pelaku judi online sebenarnya dapat dianggap sebagai pihak yang terdampak, terutama sebagai konsekuensi dari kegagalan program kesejahteraan sosial yang diterapkan oleh pemerintah.
Tapi perlu diluruskan, apakah mereka yang melakukan aktivitas judi memang layak disebut sebagai korban judi online atau justru korban gagalnya kebijakan kesejahteraan yang kemudian menjadikan judi online sebagai jalan keluar yang salah atas kemiskinan yang disebabkan oleh kegagalan pemerintah itu,” katanya.
Sebagai informasi tambahan, PPATK mencatat adanya 156 juta transaksi senilai Rp 190 triliun yang terjadi dari tahun 2017 hingga 2022. Data ini mengindikasikan bahwa sekitar 2,7 juta individu terlibat dalam praktik judi online selama periode tersebut.**
(sd)