Lintas7News.com – Ekonom senior Faisal Basri mengkritik pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Pasalnya, ibu kota baru belum bisa menjawab setidaknya lima hal yang menjadi masalah prioritas di Indonesia.
Pertama, pemerintah yang memprioritaskan pembangunan ibu kota negara dinilai mengesampingkan arah kebijakan pembangunan usai pandemi. Pasalnya, saat ini banyak negara justru mempertimbangkan arah pembangunan yang sesuai dengan kondisi saat ini.
“Jadi banyak buku ekonomi, temanya ekonomi pascacovid, karena cara kerja berbeda, hubungan sosial berbeda, interaksi ekonomi berbeda, ada deglobalisasi, ketahanan pangan dan sebagainya, membawa banyak negara berupaya melakukan transformasi ekonominya untuk menghadapi tantangan baru,” kata Faisal dalam Public Expose RUU IKN oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Selasa (18/1).
Kedua, masalah besar yang tengah dihadapi Indonesia adalah ancaman jebakan negara dengan pendapatan menengah (middle income trap). Faisal menilai IKN dinilai tidak bisa menjadi solusi untuk menjawab masalah tersebut.
“Khusus Indonesia adalah ancaman middle income trap, hampir dipastikan kalau melakukan business as usual kita enggak akan jadi negara maju pada 2045, pemerintah sadar itu,” ujarnya.
Dilansir dari CNNIndonesia.com – Menurutnya, apabila pemerintah tidak menanggapi hal ini dengan serius, maka pendapatan per kapita Indonesia akan semakin tertinggal dengan Thailand dan Malaysia. Tak hanya itu, pendapatan per kapita Indonesia bahkan terancam akan tersalip oleh Vietnam dan Filipina.
Ketiga, pertumbuhan kredit Indonesia masih sangat minim dibandingkan negara tetangga di Asia Tenggara lainnya. Menurut dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) tersebut, posisi kredit Indonesia di hadapan produk domestik bruto (PDB) masih di bawah 40 persen.
“Credit to GDP Ratio kita tidak sampai 40 persen, jadi domestik kredit yang disalurkan ke sektor swasta tidak sampai 40 persen, padahal rata-rata negara ASEAN di atas 100 persen, bahkan China hampir 200 persen. Ini jantung yang masalah, solusinya Ibukota baru? Tidak,” ucapnya.
Keempat, menurut Faisal, ada gejala deindustrialisasi yang terjadi di Tanah Air dan tidak bisa dijawab oleh ibu kota baru. Pasalnya, sektor ekspor Indonesia masih terlalu bergantung dengan komoditas ekstraktif yang tidak memiliki nilai jual lebih.
“Ekspor masih didominasi sektor ekstraktif tidak mengalami transformasi, mirip dengan era kolonial. Ekspor terbesar kita batu bara, kedua sawit, ketiga smelter China yang masih jauh jadi baterai. Ini saja sudah menyumbang hampir 40 persen dari total ekspor,” katanya.
Kelima, masalah kemiskinan yang masih menjerat lebih dari setengah populasi Indonesia. Walau data BPS menunjukkan angka kemiskinan turun menjadi 9,71 persen pada 2021, baginya banyak masyarakat yang masih hidup di sekitaran garis kemiskinan.
“76 tahun Indonesia merdeka masih ada 52,8 persen penduduk yang (masuk ke dalam kategori) miskin absolut, miskin, nyaris miskin, dan rentan miskin. Kalau itu kita gabung semua lebih dari separuh (populasi). Itu tantangan besar yang harus dihadapi, itu tidak bisa tokcer obatnya ibu kota baru,” pungkasnya.
(CNNINdonesia/RI)