Jakarta – Pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Mudzakir menilai penepatan tersangka terhadap mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkesan dipaksakan.
“Sampai sekarang ‘kan KPK tidak bisa menunjukkan perbuatan Nurhadi yang mana yang dipandang sebagai kriminal korupsi itu karena penetapan tersangka dia itu ‘kan 4 hari menjelang lengsernya (pimpinan KPK) lama,” ucap Mudzakir melalui keterangannya di Jakarta, Minggu.
KPK telah menetapkan Nurhadi (NHD) bersama Rezky Herbiyono (RHE), swasta atau menantunya dan Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal Hiendra Soenjoto (HS) sebagai tersangka dugaan suap dan gratifikasi terkait dengan perkara di MA pada 2011—2016.
KPK pada tanggal 16 Desember 2019 menetapkan ketiganya sebagai tersangka, sedangkan pimpinan KPK periode 2019—2023 dilantik pada tanggal 20 Desember 2019.
“Tiba-tiba dia mau turun takhta membuat tersangka Nurhadi diserahkan kepada yang baru. Ini jebakan yang menurut saya tidak bagus karena apa? Karena pada saat dia ditetapkan tersangka perbuatan yang mana yang dijadikan tersangka itu, itu yang belum clear menurut saya,” ujar Mudzakir.
Lebih lanjut, dia juga mempersoalkan saat Nurhadi mengajukan gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Namun, dalam putusannya ditolak oleh hakim.
“Kenapa KPK dimenangkan? Karena pada saat itu tidak jelas tersangka ini karena alat bukti yang mana perbuatan yang mana. Yang terdeskripsikan pada saat itu adalah perbuatan menantu Nurhadi yang menumbuhkan proyek dianggap sebagai proyek fiktif dan itu sesungguhnya suap untuk Nurhadi. Pertanyaannya adalah suap yang untuk kasus apa?” tuturnya.
Ia juga mengatakan bahwa seharusnya proyek tersebut harus dicek terlebih dahulu apakah fiktif atau tidak.
“Ketika dia mengirim transaksi bisnis dianggap sebagai perbuatan suap, ini yang menjadi tanda tanya besar. Seharusnya kalau ingin menilai ini bisnis fiktif atau tidak, tanya dong pada OJK (Otoritas Jasa Keuangan) karena investasi yang dilakukan itu benar-benar ada. Ada dalam arti kata semua dokumen dipersiapkan semuanya dan perspektifnya itu semuanya ada,” katanya.
Oleh karena itu, kata dia, sebaiknya KPK membuktikan terlebih dahulu perbuatan yang disangkakan terhadap Nurhadi tersebut.
“Kalau menurut saya KPK terlalu berlebihan dalam memutuskan Nurhadi sebelum dia membuktikan perbuatan Nurhadi yang mana yang dianggap sebagai tindak pidana. Ini ‘kan beda dengan yang lain-lain kejahatannya tangkap basah, menangkap karena dia menerima jumlahnya, misalnya Rp50 juta sekecil apa pun itu. Ini Nurhadi di mana letak penerimaannya itu?” katanya.
Mudzakir juga menyoroti perihal KPK yang juga melakukan penggeledahan di sebuah vila, Ciawi, Bogor yang diduga milik Nurhadi dan menyegel beberapa mobil dan motor mewah yang tersimpan di gudang di vila itu.
“Ada sekian mobil ‘kan harus dibuktikan sekian mobil itu tindak pidana atau bukan. KPK keliru juga kalau menyita mobil kegemaran mereka ‘kan namanya pejabat plus pengusaha itu umumnya kalau punya duit ‘kan suka mengumpulkan moge-moge dan juga mobil-mobil kuno,” katanya.
Ia pun meminta KPK juga bisa membuktikan apakah mobil dan motor mewah tersebut berasal dari tindak pidana korupsi atau bukan.
“Buktikan dahulu perbuatannya dan perbuatan itu menghasilkan uang, uang itu pakai beli mobil. Jadi, kalau taruhlah dia berbuat jahat, dia sudah punya mobil puluhan tahun yang lalu masa juga disita misalkan begitu. Jadi, harus ada korelasi, misalnya kausalitas antara keberadaan mobil itu dan perbuatan pidana lainnya,” ucap Mudzakir.
Dalam perkara ini, Nurhadi dan Rezky ditetapkan sebagai tersangka penerima suap dan gratifikasi senilai Rp46 miliar terkait dengan pengurusan sejumlah perkara di MA, sedangkan Hiendra ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap. (ANT/YOG)