Denpasar- Akademisi Dr Ir Nyoman Sri Subawa mengatakan pemerintah dan penyelenggara pemilu harusnya mendengarkan suara rakyat soal urgensi ditunda tidaknya pelaksanaan Pilkada 2020 di tengah kondisi pandemi COVID-19.
“Masyarakat sipil harus didengarkan karena sesungguhnya mereka merupakan pelaku dari pilkada, bukan hanya penyelenggara,” kata Sri Subawa yang juga Rektor Universitas Pendidikan Nasional saat menyampaikan materi dalam Web Seminar “Dimensi Strategi Komunikasi Politik dalam Penundaan Pilkada 2020,” di Denpasar, Jumat.
Web seminar itu juga menghadirkan narasumber secara virtual anggota KPU RI I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, Direktur Eksekutif NETGRIT Dr Ferry Kurnia Rizkiansyah, dan Wakil Rektor Bidang Akademik Undiknas Dr Ni Wayan Widhiastini. Webinar diikuti oleh 250 peserta yang merupakan mahasiswa Undiknas dan anggota Jaringan Demokrasi Indonesia dari berbagai daerah.
“Masalah pilkada itu bukan semata-mata masalah politik, tetapi memiliki aspek yang luas, yakni menyangkut aspek sosial, ekonomi dan sebagainya,” ucapnya.
Dalam kesempatan itu, Rektor Sri Subawa pun mengajak pemerintah daerah agar mengetahui dampak dari tetap dilaksanakan Pilkada 2020 sesuai dengan waktu yang ditentukan ataukah kemungkinan ditunda pada tahun berikutnya setelah COVID-19 benar-benar mereda.
“Kalau pilkada ditunda, tentu dampaknya bagi daerah itu sendiri sehingga akan ada Plt yang kemudian tidak bisa mengambil keputusan strategis, di samping banyak proyek pembangunan yang tertunda,” ucapnya.
Demikian juga ketika pilkada tetap diselenggarakan pada 9 Desember 2020 sesuai kesepakatan pemerintah, DPR dan KPU, apakah sudah siap dari aspek protokol kesehatan dan pembengkakan anggaran?
“Harus ada kajian komprehennsif. Kalau ditunda harus ada alasan yang matang. Tetapi jika tetap dilakukan Desember, harus diperhitungkan aspek-aspek teknis, yang tentunya membutuhkan anggaran yang tidak sedikit,” ucap Sri Subawa.
Wakil Rektor Bidang Akademik Undiknas Dr Ni Wayan Widhiastini menambahkan bahwa terkait pelaksanaan pilkada, sesungguhnya tidak cukup hanya komunikasi politik. tetapi aspek konstruksi sosial yang perlu diperhatikan oleh KPU dan pemerintah.
“Dengan demikian,apa yang sudah ditetapkan pemerintah maupun penyelenggara pemilu sampai maknanya ke semua pihak,” ucapnya.
Widhiastini yang juga mantan komisioner KPU Provinsi Bali itu mengatakan bahwa konstruksi sosial bukan sekadar menyuarakan kehendak pemerintah, tetapi juga ada upaya membangun kesepahaman.
“Negara berkepentingan menyampaikan informasi mengenai apa yang telah dan akan dilakukan, kemudian menyampaikan bahwa yang dilakukan adalah alternatif terbaik untuk situasi saat ini,” ujarnya.
Masyarakat, lanjut Widhiastini, memerlukan informasi yang pasti dan dapat dipertanggungjawabkan dari penyelenggara negara.
Terkait dengan pelaksanaan pilkada serentak jika tetap dilaksanakan Desember 2020, Widhiastini pun mempertanyakan siapkah pemerintah dari sisi penganggaran.
“Penganggaran menyangkut aspek teknis misalnya penyiapan masker untuk sekian penyelenggara, hand sanitizer sekian penyelenggara, kemudian tinta yang digunakan banyak orang, termasuk paku yang digunakan banyak orang. Itu keribetan-keribetan yang harus dipikirkan karena biayanya tidak sedikit, di Bali saja akan ada 8.000-an TPS,” katanya.
Walaupun pemerintah sudah memastikan akan ada penambahan anggaran, tetapi itu dirasanya akan sulit karena anggaran juga tersedot untuk penanganan COVID-19.
Anggota KPU RI I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi dalam kesempatan itu menyampaikan kesimpulan rapat kerja atau rapat dengar pendapat Komisi II DPR dengan Mendagri, KPU, Bawaslu RI dan DKPP RI pada 27 Mei 2020.
Diantaranya disimpulkan bahwa Komisi II DPR, Mendagri, dan KPU RI setuju pemungutan suara serentak dilaksanakan pada 9 Desember 2020. Komisi II DPR pun menyetujui usulan perubahan tahapan dan program Pilkada 2020 yang tahap lanjutannya dimulai pada 15 Juni 2020 dengan syarat tahapan dilakukan sesuai protokol kesehatan.
“Komisi II DPR meminta pada KPU, Bawaslu dan DKPP untuk mengajukan usulan tambahan anggaran terkait pilkada secara lebih rinci, untuk selanjutnya dibahas oleh pemerintah dan DPR RI,” ujar Raka Sandi.
Para mahasiswa peserta webinar nampak antusias mengikuti diskusi tersebut dengan menyampaikan sejumlah pertanyaan kritis, seperti halnya bagaimana teknis pelaksanaan pilkada ketika ada satu desa kena isolasi karena COVID-19 yang menyebabkan warganya tidak bisa menggunakan hak pilih
Ada juga yang menanyakan tidak dimungkinkankah untuk Judicial Review untuk penundaan Pilkada 2020? Bolehkah kata serentak dalam Pilkada Serentak 2020 dimaknai multiperspektif, tidak serentak semuanya, tetapi serentak diturunkan kadarnya, misalnya untuk lingkungan lokal kabupaten hingga desa tertentu ketika ada daerah yang harus menjalani karantina karena COVID-19.(ANT/AN)