Jakarta, 02/7 – Pakar Kesehatan Lingkungan Universitas Indonesia Profesor Budi Haryanto menegaskan berbagai penyakit akibat polusi udara, meningkatkan risiko kematian penderita COVID-19.
“Polusi udara menyebabkan gangguan-gangguan penyakit kronis. Itulah yang kemudian menjadi komorbiditas. Komorbiditas ini menyebabkan keparahan penderita COVID-19,” ujar Budi di Jakarta, Kamis.
Budi mengungkapkan penelitian di Harvard menunjukkan bahwa pasien COVID-19 di wilayah tinggi polusi memiliki risiko kematian lebih tinggi dibandingkan di wilayah rendah polusi.
Beberapa penelitian terbaru, tambahnya, menemukan bahwa mereka yang tinggal di wilayah polusi udara tinggi mempunyai risiko 4,5 kali lipat lebih tinggi meninggal akibat COVID-19 dibandingkan yang tinggal di wilayah polusi udara rendah.
Penelitian serupa, juga dilakukan di Eropa, termasuk Italia, Prancis, Spanyol, dan Jerman. “European Public Health Alliance menyatakan polusi udara mengurangi peluang seseorang bertahan hidup dari wabah Corona,” katanya melalui keterangan tertulis.
Itulah sebanya, lanjut Budi, World Health Organization (WHO) mengimbau agar setiap negara memperhatikan faktor risiko polusi udara dan kaitannya terhadap pengendalian COVID-19. .
“WHO menyebutkan, negara dengan tingkat polusi udara tinggi seperti Indonesia harus mempertimbangkan faktor risiko polusi udara tersebut dalam persiapan pengendalian COVID-19,” katanya.
Berdasarkan penelitian Fakultas Kesehatan Masyarakat UI, lanjutnya, polusi udara sangat berdampak terhadap kesehatan masyarakat. Hasil penelitian FKM UI menyebutkan, partikel udara PM 2,5 menyebabkan fungsi paru-paru tidak normal kepada 21 persen warga Tangerang dan 24 persen warga Makassar.
“Dan harus diingat, ketika fungsi paru-paru sudah terganggu, maka tidak pernah bisa menjadi normal kembali. Tidak pernah bisa sembuh seratus persen,” katanya.
Untuk mengurangi polusi tersebut, menurut dia, pemerintah bisa meningkatkan kualitas udara di antaranya, dengan memperbaiki kualitas bahan bakar minyak (BBM), kualitas mesin, kepadatan lalu lintas, dan lainnya
“Jika kita estimasi, dengan penggantian BBM standar Euro-4 pada 2017 dan diterapkan pada 2018 sesuai aturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehatan (KLHK), maka perbaikan kualitas udara, termasuk penurunan PM 2,5 akan signifikan hingga 2050 mendatang,” katanya.
(ANT/ZA)