Seoul, 09/6 – Korea Utara menyatakan pada Selasa bahwa pihaknya akan memutus saluran komunikasi dengan Korea Selatan sebagai langkah pertama untuk memutus kontak secara total, demikian Kantor Berita Korea Utara KCNA melaporkan.
Dalam beberapa hari ini, Korea Utara mengomel serta mengancam untuk menutup kantor penghubungan kedua negara dan proyek lainnya jika Korea Selatan tidak juga berhenti mengirimi selebaran kepada “para pembangkang Korea Selatan” di Utara.
Sejumlah pejabat tinggi Korea Utara, termasuk Kong Yo Jong–saudari Kim Jong Un, dan wakil ketua Komite Sentral Partai Buruh Korea, Kim Yong Chol, mengatakan bahwa “sikap terhadap Korea Selatan mesti diubah layaknya sikap terhadap musuh,” sebagaimana dikutip dari KCNA.
Sebagai langkah awal, mulai tengah hari ini, Korea Utara akan menutup jalur komunikasi di kantor penghubung antarnegara serta saluran komunikasi antara kantor militer dan kepresidenan kedua negara.
Pengumuman resmi itu menandai kemunduran pada relasi keduanya di tengah upaya untuk meyakinkan Korea Utara agar menghentikan program nuklir dengan “imbalan” pelonggaran sanksi internasional.
Secara teknis, kedua Korea masih berada dalam kondisi perang karena Perang Korea, 1950-1953, berakhir dengan perjanjian gencatan senjata, bukan perjanjian damai.
Dalam laporannya, KCNA menulis bahwa rakyat Korea Utara “merasa jengkel dengan perilaku pemerintah Korea Selatan yang berbahaya dan licik, yang dengan pihak mereka kami masih punya banyak hal untuk diselesaikan.”
KCNA juga menuduh pemerintah Korea Selatan secara tak bertanggung jawab telah membuat “para pembangkang” merusak martabat kepemimpinan agung Korea Utara.
“Kami telah mencapai keputusan bahwa tidak perlu lagi untuk duduk bersama dengan pemerintah Korea Selatan, serta tidak ada pula isu yang bisa dibahas dengan mereka, karena mereka hanya akan menimbulkan kecemasan saja,” tulis KCNA.
Menanggapi hal itu, Daniel Wertz, manajer program organisasi non-pemerintah Komite Nasional Korea Utara (NCNK) yang berbasis di AS, menilai bahwa Korea Utara memunculkan nuansa mempertinggi risiko ketegangan antara kedua negara.
“Saluran komunikasi yang lancar paling dibutuhkan dalam masa krisis, dan karena itulah Korea Utara memutusnya untuk menciptakan nuansa risiko yang lebih tinggi. Bagi Korea Utara, hal itu sudah biasa dilakukan, namun juga bisa berbahaya,” kata Wertz dalam cuitan di Twitter. (ANT/ZA)