Jakarta, 03/7 – Durasi pandemi COVID-19 yang berkepanjangan dengan segala eksesnya menjadi bukti ketidakberdayaan komunitas global.
Ketidakberdayaan itu semakin nyata ketika komunitas global mencapai kesepakatan tak tertulis untuk mematikan sementara semua motor penggerak ekonomi. Sehingga resesi ekonomi 2020 pun menjadi konsekuensi logis yang harus diterima apa adanya.
Virus corona atau severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) nyata-nyata telah menjadi perangkap bagi semua orang dan oleh perangkap itu, manusia era modern sekarang nyaris dibuat tidak berdaya.
Ketidakberdayaan itu tercermin dari ketiadaan langkah atau kebijakan antisipatif, ketidakmampuan mengendalikan atau melokalisir wabah ini, kegagalan menghentikan proses penularan, hingga keterpaksaan memilih jalan pintas sarat risiko untuk menyelamatkan semua orang.
Hanya dalam hitungan bulan dan tanpa bisa dicegah, virus ini dengan cepat menyebar ke seluruh dunia.
Sisi lain ketidakberdayaan itu terlihat pada ketiadaan vaksin. Ketidakberdayaan ini menyebabkan para ahli medis mencari jalan pintas dengan rekomendasi membatasi aktivitas manusia, mulai dari rekomendasi penguncian (lockdown), pembatasan sosial hingga karantina mandiri atau bekerja dan belajar dari rumah saja.
Karena ketidakberdayaan manusia pula, rekomendasi sarat risiko itu harus diterima dan dilaksanakan. Tak ada alternatif lain.
Dengan proses penularan yang mudah, virus corona menyerang sistem pernapasan. Semua orang mengenal penyakit ini dengan sebutan COVID-19 (Corona Virus Disease 2019). Bisa menginfeksi siapa saja dari semua usia, dari kelompok lanjut usia, dewasa, remaja hingga anak-anak serta bayi, bahkan juga ibu hamil dan ibu menyusui. Karena belum ada vaksin-nya, gangguan pada sistem pernapasan akibat virus ini bisa menyebabkan kematian.
Hingga Selasa (30/6) kemarin, Data Worldometers melaporkan, total pasien COVID-19 di dunia mencapai 10.402.897. Jumlah kematian tercatat 507.523 kasus. Data tentang pasien yang sembuh cukup menggembirakan dan memberi harapan. Dari total yang terinfeksi, 5.659.387 pasien dinyatakan pulih.
Di Indonesia jumlah pasien COVID-19 juga terus bertambah. Laju percepatannya yang tampak signifikan membuat semua kalangan prihatin. Karena terdeteksi 1.293 kasus baru per Selasa 30 Juni 2020, total pasien COVID-19 di dalam negeri menjadi 56.385 kasus; jumlah kematian 2.876, dan jumlah pasien sembuh 24.806.
Kendati pertambahan jumlah pasien signifikan, masyarakat diharapkan tetap optimis. Kesigapan sejumlah pemerintah daerah dalam upaya memutus rantai penularan COVID-19 diharapkan dapat segera mengurangi jumlah pasien baru.
Semakin jelas bahwa data global maupun data di dalam negeri tentang perkembangan pandemi COVID-19 itu menunjukkan ketidakberdayaan manusia melawan virus corona. Alih-alih menghentikan laju penularannya, bahkan tak ada satu pun kekuatan atau teknologi kekinian yang mampu mengendalikan wabah ini. Jangankan mereka yang awam, para ahli medis dan ahli farmasi sekalipun nyaris tak berdaya.
Akibatnya, sebagaimana sudah diketahui bersama, semua orang setiap harinya hanya bisa menyimak jumlah pertambahan kasus baru, jumlah pasien yang sembuh dan jumlah kematian. Amerika Serikat (AS), negeri adi daya dengan penguasaan teknologi kekinian yang mumpuni, bahkan menjadi negara yang tampak paling dan sangat lemah sepanjang durasi pandemi COVID-19 itu.
Bersama Brasil, AS tercatat sebagai negara dengan jumlah kasus paling banyak, dengan rata-rata pertambahan kasus baru lebih dari 35.000 per hari. Hingga Senin (29/6), worldometers.info menyebutkan total kasus COVID-19 di AS sudah mencapai jumlah 2.637.077 pasien, dengan total kematian 128.437.
AS tidak berdaya karena gagal fokus, tidak antisipatif dan gagal menahan laju percepatan penularan. Seorang anggota gugus tugas penanganan virus corona di AS bahkan membuat perkiraan bahwa pertambahan kasus baru per hari bisa mencapai angka 100.000 dalam jangka dekat, jika tidak segera dilakukan koreksi kebijakan. Uni Eropa pun sudah menetapkan larangan bagi turis asal AS masuk wilayahnya.
Andalkan Akal Budi
Akibat ketidakberdayaan melawan virus Corona, para ahli mencari jalan pintas. Keluarlah rekomendasi penguncian, pembatasan sosial hingga karantina mandiri. Hanya itu alternatif yang tersedia.
Sebagaimana telah dipahami bersama, penguncian atau pembatasan sosial yang telah dilaksanakan sejak beberapa bulan lalu itu menyebabkan hampir semua motor penggerak ekonomi dimatikan. Jalan pintas ini harus diambil karena komunitas global bersepakat untuk lebih memprioritaskan keselamatan dan kesehatan semua orang.
Ketika kesepakatan tak tertulis ini dipraktikan, semua orang tahu akan risiko teramat besar yang harus ditanggung bersama, yakni memburuknya kinerja perekonomian dunia.
Artinya, demi keselamatan semua orang, para perumus kebijakan di banyak negara dengan kesadaran penuh telah mengambil keputusan pahit yang menyebabkan perekonomian global terjerumus ke jurang resesi. Pandemi COVID-19 nyata-nyata memerangkap semua orang.
Baru-baru ini, Dana Moneter Internasional (IMF) membarui proyeksinya tentang pertumbuhan ekonomi dunia. IMF menghitung bahwa perekonomian global tahun ini terkontraksi atau tumbuh negatif 4,9 persen. IMF juga memperkirakan kerugian skala global akibat pandemi virus corona mencapai 12 triliun dolar AS atau sekitar Rp 168.000 triliun.
Perkiraan kerugian sebesar itu disebabkan perekonomian 95 persen negara di planet ini tumbuh negatif. Sebelumnya, atau pada April 2020, lembaga multilateral ini menyajikan perkiraan bahwa ekonomi dunia akan terkontraksi 3 persen.
Sedangkan Bank dunia juga telah menyajikan proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini minus 5,2 persen. Tentang prospek Indonesia, gambarannya sudah dipaparkan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Setelah masih bisa tumbuh positif di kuartal pertama, pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal II 2020 bisa minus 3,1 persen.
Proyeksi para ahli itu menghadirkan gambaran wajah dunia yang serba suram, dan tentu saja menakutkan bagi banyak orang. Apalagi sudah dimunculkan perkiraan tentang lonjakan jumlah warga miskin.
Dinamika kehidupan bersama tidak akan pernah bisa ideal lagi jika semua komunitas terus membiarkan ketidakberdayaan sekarang ini. Bukankah WHO sudah memastikan bahwa virus corona masih akan ada dalam kehidupan manusia untuk jangka waktu yang belum bisa dihitung. Itu berarti kehidupan semua orang di hari-hari mendatang akan selalu berdampingan dengan virus ini.
Maka, sebagai makhluk berakal budi, semua orang harus berusaha keluar dari cengkeraman perangkap pandemi COVID-19. Memang, pemulihan dalam skala global tidak akan mudah atau memakan waktu lama, karena dunia masih dibayangi gelombang kedua penularan COVID-19. Namun, inisiatif baru harus diambil dan dipraktikkan untuk merawat dan melanjutkan kehidupan bersama.
Pilihan yang tersedia adalah new normal atau pola hidup baru dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat dan konsisten. Semua elemen masyarakat harus mengambil pilihan ini dan mempraktikkannya untuk mengakhiri ketidakberdayaan akibat perangkap pandemi COVID-19 sekarang ini.
*) Bambang Soesatyo, Ketua MPR RI
(ANT/ZA)