Jakarta, 08/7 – Beberapa ahli lingkungan dari Amerika Serikat dan Indonesia menyatakan, upaya pemeliharaan atau konservasi lingkungan membutuhkan kolaborasi lintas disiplin dan profesi serta kerja sama antarkelompok masyarakat, yang semuanya ditemukan dalam gerakan “Earth Optimism”.
“Earth Optimism“ atau “Optimisme terhadap Bumi” merupakan gerakan swadaya masyarakat yang diinisiasi oleh ilmuwan, para pengambil kebijakan, anak muda, grup pegiat lingkungan, organisasi masyarakat sipil, dan individu, yang menitikberatkan kerja kolaborasi pada upaya konservasi.
Gerakan itu jadi tema utama seminar dan diskusi dari Pusat Kebudayaan Amerika Serikat @america Jakarta, yang disiarkan langsung via Youtube, Selasa.
“Tiga prinsip utama (dalam gerakan Earth Optimism, red). Pertama, kita semua (manusia, alam, satwa, red) terhubung; Kedua, pentingnya ada pendekatan kolaboratif multi-disiplin untuk mengatasi persoalan kompleks di lingkungan yang dihuni bersama manusia dan satwa; Ketiga, Earth Optimism membutuhkan andil kita semua. Pertanyaan, pengamatan, minat, dan dialog yang kita bangun punya peran penting untuk memastikan hidup lebih baik di masa depan,” kata Direktur Pelatihan Program Kesehatan Global Institut Konservasi Biologi Smithsonian, Mac Farnham, salah satu pembicara seminar.
Menurut Mac, prinsip tersebut perlu jadi panduan tersebut tidak hanya berlaku bagi upaya konservasi, tetapi juga usaha menghadapi persoalan masyarakat global, antara lain keberlangsungan spesies, ketahanan pangan, rusak dan hilangnya sumber daya alamiah serta keanekaragaman hayati, perubahan iklim, dan munculnya penyakit menular seperti COVID-19.
“Kita tahu masalah yang kompleks ini disebabkan utamanya oleh populasi manusia yang bertambah secara eksponensial, perilaku manusia, dan aktivitas manusia. Namun, masalah rumit membutuhkan penyelesaian yang juga rumit,” ujar dia seraya menjelaskan kuncinya ada pada kolaborasi antarkelompok masyarakat sebagaimana dianjurkan oleh gerakan “Earth Optimism”.
Sementara itu, peneliti dan kurator moluska di Museum Sejarah Alam Nasional Smithsonian, Chris Meyer, berpendapat gerakan “Earth Optimism” dapat terwujud pertama kali melalui adanya kesadaran di benak masing-masing individu. “Yang perlu kita ketahui, masing-masing dari kita (aktivitas manusia, red) punya dampak langsung terhadap keberlangsungan alam dan spesies,” kata dia.
Sejalan dengan itu, peneliti lingkungan asal Indonesia yang mewakili Departemen Ekologi dan Biologi Evolusioner University of California, Aji Wahyu Anggoro menjelaskan upaya konservasi merupakan tanggung jawab bersama yang tidak hanya diemban oleh para peneliti, tetapi seluruh kelompok masyarakat. Prinsip berbagi tanggung jawab atau shared responsibilty itu yang turut ditemukan dalam “Earth Optimism“.
“Siapapun bertanggung jawab (menjaga dan memelihara keberlangsungan alam, red). Jika anda peneliti, maka terjunlah ke lapangan untuk riset. Jika anda seseorang yang tertarik, maka berbagi cerita dengan orang lain. Kalian dapat mengatakan saya melihat ini di lautan, dan hanya dengan hal kecil, banyak generasi muda yang mungkin akan tertarik (dengan kerja-kerja konservasi, red),” jelas dia.
“Earth Optimism” merupakan gerakan konservasi global yang melibatkan ilmuwan, para pengambil kebijakan, aktivis, yang bertujuan untuk mencari strategi lintas disiplin guna menghadapi masalah lingkungan seperti perubahan iklim, pemanasan global, kepunahan spesies, hilangnya keanekaragaman hayati, dan masalah lainnya. Istilah “optimis” pada gerakan itu menunjukkan visinya yang fokus pada pencarian solusi lewat dialog dan kolaborasi, demikian penjelasan dari laman resmi Smithsonian.
Smithsonian merupakan museum, suaka margasatwa, pusat riset, kebudayaan, dan pendidikan, yang didirikan pada 10 Agustus 1846 dan berpusat di Washington D.C., Amerika Serikat.
(ANT/ZA)