Wamenkumham Akui Tiga Pasal UU ITE Masih Tak Jelas

Lintas7News.com – Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej mengakui adanya sejumlah Pasal dalam Undang-undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang menimbulkan multitafsir.

Dilansir dari CNNIndonesia.com Hal itu disampaikan Edward, dalam diskusi terbuka bertajuk ‘UU ITE: Penghinaan/Pencemaran Nama Baik Menurut KUHP, UU ITE, dalam perspektif Ius Constituendum dan Ius Constitutum’, di Hotel Tentrem, Yogyakarta, Kamis (18/3).

“Pasal 27, 28, 29 itu tidak memenuhi salah satu syarat utama dalam asas legalitas yang berbunyi nullum crimen nulla poena sine lege certa,” kata Edward.

Artinya, bahwa rumusan ketentuan pidana haruslah jelas. “Tidak ada pidana tanpa undang-undang yang jelas. Apakah pasal 27, 28, 29 itu jelas? Tidak, tidak jelas,” tegasnya.

Pasal 27 semisal hanya disebutkan jika unsur penghinaan termaksud adalah sebagaimana Pasal 310 KUHP tentang penistaan dan Pasal 311 KUHP tentang fitnah.

Edward menuturkan, hal ini berbeda dengan saat pembentukan UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Di mana saat mengadopsi sejumlah kejahatan jabatan dari KUHP, pasal-pasal sepenuhnya diambil lalu ditulis ulang di dalam UU itu.

“Di dalam UU ITE tidak terjadi demikian. Hanya, satu, pasal 27 ayat 1 bermuatan melanggar kesusilaan, muatan melanggar kesusilaan itu kalau dalam KUHP itu kan ada di Pasal 282 sampai 303. Jadi apa maksudnya melanggar kesusilaan?” papar Edward.

Buntutnya, Pasal 27 ini seringkali diprotes. Bahkan ia tak menampik pemberlakuan Pasal 27 ayat 3 UU ITE yang mengatur pencemaran nama baik ini telah menimbulkan keresahan di masyarakat.

“Tidak dimungkiri pasal ini menimbulkan keresahan. Terjadi multitafsir atau distorsi antara penyampaian kritik dan pencemaran nama baik sehingga terjadi saling lapor,” imbuhnya.

Demikian pula Pasal 28 UU ITE yang tak merinci tentang penyebaran kebencian atau penghinaan.

“Argumentasi yang kerap muncul adalah karena kriteria dan unsur perbuatan yang tidak jelas dan multitafsir,” kata dia.

Tujuan awal dirumuskannya UU ITE ini, tutur Edward, adalah demi mengantisipasi terjadinya perbuatan merugikan orang lain di dunia maya. Misalnya, peretasan hingga penyebaran kabar bohong atau hoaks.

“Sehingga UU (ITE) ini diperlukan karena kegiatan di ruang siber tidak dapat didekati dengan ukuran hukum konvensional saja. Kalau ini ditempuh (hukum konvensional) maka banyak yang lolos dan kesulitan dalam pemberlakuan hukum,” urainya.

Setelah itu barulah muncul gagasan di DPR untuk memasukkan pencegahan tindakan pelanggaran hukum lain di dunia maya yang salah satunya bisa mencakup masalah penghinaan atau pencemaran nama baik di dunia maya. Sehingga tercipta Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 dalam UU ITE.

Pihaknya pun kini tengah melakukan kajian terhadap pasal dalam UU ITE yang dianggap menimbulkan multitafsir. Edward mengatakan Kemenkumham juga membuka ruang diskusi dan masukan publik perihal perlu tidaknya revisi UU ini.

Kajian ini terutama untuk mempertemukan aspirasi masyarakat perihal pencemaran nama baik dan penghinaan menurut KUHP.

Diskusi ini di satu sisi, kata Edward, adalah tindak lanjut arahan Presiden Joko Widodo yang meminta agar sesegera mungkin dilakukan pembahasan dan kajian terhadap UU ITE.

(CNNIndonesia/ZA)

Bagikan Melalui

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.