Berawal Dari UU Cipta Kerja, Eijkman Dilebur Ke BRIN

Lintas7News.com – Peleburan Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menuai kritik.   

Pakar hukum tata negara Asep Warlan Yusuf menyebut peleburan ini bermula dari kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker).

Pasal 121 UU Cipta Kerja mengatur pembentukan BRIN. Pasal itu merevisi pasal 48 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

Aturan baru itu menyebut BRIN didirikan untuk menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi. Tak ada rincian kerja-kerja BRIN dalam aturan itu. Pasal 48 ayat (3) berbentuk open legal policy yang membuka kemungkinan pengaturan lebih lanjut di peraturan lain.

“Ketentuan lebih lanjut mengenai badan riset dan inovasi nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan presiden,” demikian bunyi pasal 48 ayat (3) UU Sisnas Iptek hasil perubahan pasal 121 UU Cipta Kerja.

Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) kemudian melanjukan amanat UU Ciptaker itu dengan menerbitkan Perpres Nomor 78 Tahun 2021 tentang BRIN. Aturan itu merinci berbagai aspek soal BRIN, termasuk peleburan berbagai lembaga riset.

“Tugas, fungsi, dan kewenangan pada unit kerja yang melaksanakan penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi di lingkungan kementerian/lembaga dialihkan menjadi tugas, fungsi dan kewenangan BRIN,” bunyi pasal 65 ayat (1) Perpres 78/2021.

Pengintegrasian diikuti pengalihan pegawai negeri sipil, perlengkapan, pembiayaan, dan aset lembaga riset tersebut ke BRIN. Pengalihan itu dikoordinasikan Menpan RB dengan melibatkan unsur Badan Kepegawaian Negara, Kementerian Keuangan, Bappenas, BRIN, dan lembaga terkait.

Pemerintah mulai menjalankan aturan tersebut di akhir tahun 2021, yang salah satunya dengan meleburkan LBM Eijkman ke dalam BRIN. LBM Eijkman menjadi unit di bawah BRIN dengan nama Pusat Riset Biologi Molekuler (PRBM) Eijkman. Tim Waspada Covid-19 (Wascove) bentukan Eijkman diambil alih Kedeputian Infrastruktur Riset dan Inovasi BRIN.

Sebetulnya bukan hanya Eijkman saja, BRIN sebagai badan otonom pusat integrasi riset dan inovasi di Indonesia pun ‘mencaplok’ lembaga-lembaga penelitian di nusantara termasuk fungsi penelitian dan pengembangan yang ada di kementerian akan diintegrasikan dalam BRIN sesuai dalam Pasal 65 Perpres 78/2021.

Dalam siaran persnya setelah dilantik Jokowi pada 28 April 2021, Kepala BRIN Tri Handoko menyebut pihaknya mengajukan integrasi 2476 pegawai dari 34 Kementerian/Lembaga kepada Badan Kepegawaian Negara (BKN). Lalu, sebanyak 1089 Surat Keputusan (SK) pengalihan pegawai dari 28 Kementerian/Lembaga telah diserahkan oleh Kepala BKN kepada Kepala BRIN.

Pada catatan akhir tahun 2021 lalu, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengaku pihaknya sudah menyurati menyampaikan keberatan unsur riset dan penelitian di lembaganya dialihkan ke BRIN.

“Kita sudah menyampaikan surat keberatan kami kepada presiden Republik Indonesia atas inisiatif untuk mengintegrasikan fungsi-fungsi penelitian dan kajian itu ke dalam BRIN,” kata Taufan dalam Catatan Akhir Tahun Komnas HAM, Selasa (28/12).

Taufan mengatakan pengintegrasian itu keliru karena bertentangan dengan Undang Undang Nomor 39 tahun 1999 pasal 76 juncto pasal 89 ayat 1 tentang fungsi pengkajian dan penelitian Komnas HAM.

“Komnas HAM mempunyai tugas fungsi sebagai lembaga yang melakukan pengkajian dan penelitian. Karena itu tidak mungkin lembaga independen seperti Komnas HAM ini kemudian diintegrasikan tugas fungsinya ke dalam BRIN,” kata dia kala itu.

Terkait pernyataan Komnas HAM di akhir tahun itu belum ada respons baik dari BRIN maupun pihak istana.

Asep Warlan Yusuf menilai landasan hukum peleburan lembaga-lembaga riset termasuk fungsi di kementerian ke dalam BRIN lemah. Dia mengatakan seharusnya kebijakan tersebut diatur dalam undang-undang, bukan lewat perpres.

Asep berkata perpres seharusnya hanya mengatur soal struktur kelembagaan, mekanisme anggaran, dan kriteria pengisian jabatan. Dia berpendapat kebijakan besar seperti peleburan lembaga seharusnya diatur lewat undang-undang.

“Prinsip dasar sebuah lembaga, fungsi, kewenangan, bahkan kalau perlu ada kriteria SDM dan anggaran, itu penting (dalam UU), nanti dijalankan oleh perpres, kalau kita menganggap riset penting,” kata Asep kepada CNNIndonesia.com.

Meski demikian, Asep menilai aturan itu sulit digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) ataupun Mahkamah Agung (MA). Pasalnya, Perpres tersebut berasal dari open legal policy di UU Cipta Kerja.

Guru besar Universitas Parahyangan itu berkata biasanya MK atau MA menolak uji materi terkait open legal policy. Penolakan berkaitan dengan porsi kewenangan lembaga negara.

“Banyak gugatan yang sifatnya OLP ditolak. Kenapa? Ya ini urusan pemerintah, bukan urusan yudisial menguji kebijakan OLP ini. biasanya OLP ini agak susah dikabulkan,” tutur Asep.

 (CNNIndonesia/RI)

Bagikan Melalui

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.