Lintas7news – Aktivis Filep Samuel Karma atau lebih dikenal Filep Karma ditemukan tak bernyawa oleh seorang nelayan dengan masih mengenakan baju selamnya di bibir pantai kawasan,Jayapura,Papua. Diduga Filep meninggal setelah menyelam dan terbawa arus.
Filep dilahirkan di Biak,Papua dan merupakan salah satu dari tokoh Papua yang lantang mewujudkan keadilan bagi rakyat Papua, 63 tahun yang lalu, tepatnya 15 agustus 1959.
Filep berasal dari keluarga terpandang di Papua. Andreas Karma, ayah Filep, adalah seorang bupati populer di Papua. Andreas pernah menjabat sebagai Wakil Bupati Jayapura pada 1968 hingga 1971. Lalu Bupati Wamena pada 1970-an, serta Serui pada 1980-an.
Sebuah pengalaman hidup ketika menempuh pendidikan di Solo begitu membekas. Filep mendapat perlakuan diskriminatif dari beberapa teman kuliahnya. Flep muda mengambil studi ilmu politik di Universitas Sebelas Maret, Solo.
Saat ditemui CNNIndonesia.com di Lapas Kelas IIA Abepura, Agustus 2015, Filep bercerita, salah seorang anak dari trah Raja Solo pernah bicara kepadanya di depan teman-teman Filep, ‘Wah, kok kamu hitam sekali sih. Hitam, keriting.’ Hal itu pada akhirnya menjadi bahan tertawaan.
Kali lain, Filep pernah disuruh mengikuti upacara 17 Agustus-an. Ia mengaku saat itu menyiapkan pakaian rapi dan berdasi. Namun, temannya ada yang tidak berangkat. Ketika ia menanyai temannya, jawabannya adalah, ‘Ya kalian itu, orang Irian yang baru merdeka, yang perlu ikut upacara.’ Hati Filep sakit.
Bagi Filep, dorongan terkuat dalam memilih jalan perjuangan yang terjal adalah karena melihat masyarakat Papua yang dalam penilaiannya berada di bawah tekanan.
Ia mempertanyakan represi militer Indonesia yang terus saja terjadi hingga sekarang dan juga status bergabungnya Papua ke Indonesia yang ia nilai berasal dari hasil manipulasi.
Pada akhirnya, pilihan politik membawa Filep menjadi tokoh sentral dalam perjuangan kemerdekaan Papua. Ia bersuara lantang menentang apa yang disebutnya kolonialisme pemerintah Indonesia.
Filep pernah memimpin pengibaran bendera Bintang Kejora– bendera lambang perjuangan Papua Merdeka– di tempat kelahirannya, Biak, pada 2 Juli 1998 dan akhirnya dipenjara. Namun, dua tahun kemudian dia dibebaskan.
Enam tahun berikutnya, pada 1 Desember 2004, Filep sebagai seorang mantan PNS pernah terlibat dalam sebuah upacara pengibaran bendera Bintang Kejora di ibu kota Papua, Jayapura. Ia ditangkap dengan tuduhan makar dan dihukum 15 tahun penjara oleh Pengadilan Abepura.
Penahanan Filep dikecam oleh banyak organisasi kemanusiaan karena dinilai melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Namun begitu, penahanan tersebut justru meneguhkan perlawanan masyarakat Papua untuk bisa menentukan nasib sendiri.
Filep bebas pada 2015 setelah mendapat remisi dari pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), remisi yang sebetulnya ia tolak. Sebelum bebas, Filep sempat menulis surat untuk Jokowi.
Menurut dia, tawaran remisi, pembebasan bersyarat, grasi dan amnesti yang selama ini ditawarkan pemerintah Indonesia tidak menunjukkan iktikad baik dalam menyelesaikan persoalan politik di Papua.
Akan tetapi, kata Filep, semata hanya untuk menghindari tekanan politik internasional pemerintah Indonesia di mata masyarakat dunia.
Dilansir dari CNNIndonesia.com – Dalam suratnya, Filep mengatakan “Maka saya mempunyai sikap: ‘Negara Indonesia harus sadar telah melakukan kesalahan dalam proses hukum terhadap saya; dan harus memberikan bebas tanpa syarat diikuti dengan rehabilitasi nama baik.”
Menurut Filep, banyak sekali kepentingan yang saling bertabrakan di Papua dan memaksa rakyat.
“Pesan terakhir saya mungkin, saya menawarkan kepada pak Jokowi, kalau memang Papua tidak bisa dipertahankan lagi, Jokowi mempersiapkan Papua merdeka. Seperti Inggris bisa mempersiapkan Brunei merdeka. Apa salahnya Indonesia bisa membanggakan kepada dunia sebagai sebuah negara demokrasi yang mempersiapkan Papua merdeka?” tulis Filep dalam surat untuk Jokowi.
(NB)