Lintas7news — Pernyataan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI terkait Pulau Pasir milik Australia ini membuat Pemegang Mandat Hak Ulayat Masyarakat Adat Laut Timor, Nusa Tenggara Timur (NTT) Ferdi Tanoni protes. Pernyataan tersebut dianggapnya aneh.

“Kami meminta agar Bapak Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kemlu L Amrih Jinangkung menjelaskan soal MoU Indonesia-Australia terhadap Pulau Pasir tahun 1974 itu dasarnya apa dan bagaimana?,” kata Ferdi Tanoni, di Kupang, seperti dilansir Antara. \

Ferdi mempertanyakan alasan Mou dibuat pada tahun 1974, bukan tahun 1933 atau 1942 sesuai dengan pengakuan Amrih bahwa Pulau Pasir adalah milik Pemerintah Inggris.

Ferdi yang juga Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) itu, juga mempertanyakan bahwa gugusan Pulau Pasir tidak termasuk dalam kedaulatan NKRI karena tidak ada dalam catatan Kementerian Luar Negeri.

Ferdi juga menuturkan bahwa sebelum adanya MoU antara Indonesia dan Australia, pemerintah Kabupaten Kupang selalu menerbitkan surat jalan bagi para nelayan yang hendak bertolak ke Pulau Pasar.

“Sebelum dicaplok Australia, nelayan Indonesia yang ingin ke Pulau Pasir wajib kantongi izin dari Pemerintah Kabupaten Kupang,” tutur Ferdi.

Meskipun Kemlu sudah menyatakan bahwa Pulau Pasir milik Australia, Ferdi akan tetap melayangkan gugatan soal Pulau Pasir ini ke Pengadilan Commonwealth Australia di Canberra

Menurut Kemlu RI, begini dasarnya

Sebelumnya Kemlu RI menegaskan bahwa Pulau Pasir atau Ashmore Reef bukan milik Indonesia, melainkan Australia. Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kemlu, L Amrih Jinangkung, menjelaskan bahwa Pulau Pasir tidak pernah menjadi bagian dari wilayah Hindia Belanda, yang setelah Indonesia merdeka.

Pemerintah Hindia Belanda sebelum Indonesia juga disebut tidak pernah memprotes klaim atau kepemilikan Pulau Pasir oleh Inggris, yang kemudian mewariskan wilayah tersebut sebagai wilayah Australia.

“Dalam konteks ini, Indonesia tidak pernah memiliki atau tidak punya klaim terhadap Pulau Pasir,” kata Amrih, dikutip dari Dtik.com.

Informasi tersebut ditegaskan dalam Deklarasi Juanda Tahun 1957 yang kemudian diundangkan melalui UU Nomor 4 Tahun 1960, yang menyatakan bahwa Pulau Pasir tidak masuk dalam wilayah atau peta NKRI sejak tahun 1957, 1960, maupun pada peta-peta yang dibuat setelah periode itu.

Soal dasar bahwa Pulau Pasir atau Kepulauan Ashmore dan Cartier adalah milik Australia, Amrin menjelaskan aturannya yakni nota kesepahaman (MoU) yang ditandatangani pada 1974. MoU itu disempurnakan lagi dengan perjanjian tahun 1981 dan 1989. Di dalam MoU itu diatur bahwa nelayan tradisional NTT diperbolehkan mencari ikan dan teripang secara tradisional di kawasan Pulau Pasir yang mereka sebut sebagai MoU Box.

“Nah, memang sejak dahulu menjadi wilayah di mana nelayan tradisional NTT mencari ikan,” papar Amrih,” kata Amrih, Kamis (27/10) lalu.

Ada pula prinsip hukum internasional yang menjadi dasar batas-batas teritorial negara pascakolonial, yakni prinsip uti possidetis juris.

Dikutip dari Cornell Law School, uti possidetis juris atau sering disingkat UPJ adalah prinsip kelaziman interasional (customary law) yang melestarikan batas-batas wilayah jajahan sebagai batas-batas negara.

Di Indonesia, batas-batas negara ditentukan oleh batas-batas wilayah yang dijajah oleh Belanda di era dulu. Untuk Pulau Pasir di selatan NTT, wilayah itu dulu menjadi bagian dari penjajah Inggris, bukan Belanda. Dahulu kala, Indonesia adalah Hindia Belanda di bawah kuasa Belanda.

(RI)

Bagikan Melalui

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.