LINTAS7NEWS – Saat ini, Indonesia sedang mengalami masalah kekurangan guru yang signifikan. Menurut laporan Inspektorat Jenderal Kemdikbudristek pada Mei 2024, terdapat kekosongan 150.095 guru di seluruh negeri, dengan 140.845 guru berasal dari sekolah negeri dan 9.250 guru berasal dari sekolah swasta.
Kekurangan guru ini berpotensi meningkat karena setiap tahun ribuan guru pensiun. Sementara itu, minat menjadi guru dari generasi muda belum bisa memenuhi kebutuhan yang ada. Salah satunya, karena banyak anak muda saat ini tidak tertarik untuk mengambil profesi sebagai guru.
“Kami melihat bahwa saat ini banyak anak muda yang enggan menjadi guru. Mereka menganggap bahwa profesi guru tidak menjamin kesejahteraan. Kondisi ini masih memprihatinkan,” ungkap Prof Dr Nunuk Suryani M Pd, Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK) Kemdikbudristek, dalam sebuah audiensi di Kantor Bupati Sleman pada Senin (29/7/2024), seperti dilaporkan pada Selasa (30/7/2024).
“Sebenarnya, jika seorang guru menjadi ASN atau PNS, keadaannya sudah lebih sejahtera dibanding dengan ASN atau PNS di bidang lain. Namun, di Indonesia, ketika saya bergabung dengan Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK), ada lebih dari satu juta guru honorer,” tambahnya.
Gambaran Kehidupan Guru Honorer dengan Gaji Rp 300 Ribu
Nunuk menyatakan bahwa masalah guru yang diwariskan dari sistem perekrutan lama menyebabkan banyaknya guru honorer. Saat ini, jumlah guru honorer di Indonesia mencapai lebih dari 700 ribu orang.
Sayangnya, guru honorer saat ini masih mengandalkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sebagai sumber pendapatan. Gaji mereka sering kali hanya sekitar Rp 300 ribu dan pembayarannya bisa dilakukan hanya setiap 3-6 bulan sekali.
Baca juga : Pengertian, Urutan, dan Contoh Penggunaan Cardinal Number
“Di tempat lain, mereka dibayar menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan gajinya hanya Rp 300 ribu, dibayar setiap 3 bulan sekali, 6 bulan sekali,” ucapnya.
Namun, ia juga mengamati situasi guru honorer di Sleman secara lebih mendetail. Di sana, guru honorer yang beruntung bisa mendapatkan tambahan gaji paling sedikit Rp 765 ribu, dan ada yang mendapatkan lebih dari itu.
Bupati Sleman, Dra Hj Kustini Sri Purnomo, juga mengkonfirmasi bahwa Guru Tidak Tetap (GTT) dan Pegawai Tidak Tetap (PTT) di Sleman menerima bantuan dari pemerintah daerah.
Menurutnya, program bantuan ini diimplementasikan untuk mendukung transformasi pendidikan di Sleman dan juga bertujuan untuk meningkatkan sumber daya manusia (SDM).
“Alhamdulillah, di Sleman terdapat 9.500 GTT/PTT. Ini bertujuan agar guru-guru dari PAUD hingga SMP yang tidak ter-cover oleh pemerintah pusat dapat kami tambah. Gaji paling rendahnya Rp 765 ribu, ada yang mencapai Rp 1,5 juta. Pemerintah daerah yang menutupi ini, karena tidak semua bisa masuk dalam program PPPK yang diatur oleh pemerintah pusat,” paparnya.
“Ini adalah program kami yang sebenarnya, yang terpenting adalah agar masyarakat bisa menjadi pintar dan cerdas. Melalui dinas pendidikan, kami berusaha meningkatkan sumber daya manusia,” tambah Kustini.
PPG Sebagai Strategi untuk Meningkatkan Minat Anak Muda Menjadi Guru
Nunuk mengatakan bahwa transformasi adalah hal yang sedang dilakukan mengingat permasalahan yang berbeda-beda di setiap daerah terkait guru.
“Potret kondisi guru sangat memprihatinkan. Kami sedang melakukan transformasi, terutama dalam percepatan Pendidikan Profesi Guru (PPG) untuk yang sudah menjadi guru. Di Sleman tadi, saya melihat bahwa tinggal sedikit yang belum tersertifikasi,” jelas Direktur Jenderal GTK tersebut.
“Nah, kita mencoba meyakinkan generasi muda untuk menjadi guru. Untuk itu, yang sudah menjadi guru perlu diperbaiki kesejahteraannya terlebih dahulu melalui Pendidikan Profesi Guru (PPG), menjadi ASN atau PPPK, mendapatkan tunjangan, dan gaji yang memadai. Dengan begitu, kita berharap anak-anak muda mau memilih profesi sebagai guru,” jelasnya.
Baca juga : Makna Ordinal Number, Konsep Urutan, dan Perbedaannya dengan Cardinal Number
Menurut Nunuk, berdasarkan perkembangan program ini, saat ini sudah banyak putra daerah yang bersedia menjadi guru. Hal ini menandakan bahwa mereka yang berminat menjadi guru akan mengajar di wilayah-wilayah pendidikan yang membutuhkan.
“Nah, banyak putra daerah yang bersedia menjadi guru di Sleman sekarang. Jadi, kita sekarang lebih memilih putra daerah untuk membangun daerah mereka sendiri,” ungkapnya.
Meskipun begitu, masalah muncul ketika beberapa guru yang sudah lulus sertifikasi ditempatkan di luar pulau Jawa. Biasanya, para guru ini akan mencari alasan untuk kembali dan meminta untuk mengajar di wilayah mereka sendiri.
Misalnya, ada yang memberikan alasan bahwa orang tua sakit, istrinya sedang hamil, atau bahwa anak pertama baru lahir dan mereka perlu bertanggung jawab secara langsung. Beberapa juga menggunakan surat dari kejaksaan, pengadilan, atau instansi lain untuk meminta izin pindah kembali ke Jawa.
“Jadi di luar Jawa, tidak pernah ada keseimbangan antara kebutuhan dan ketersediaan guru, selalu kurang. Pada awalnya semuanya terlihat baik, tetapi dua tahun kemudian banyak alasan muncul untuk meminta rekomendasi dari berbagai pihak. Biasanya, ketika masalah-masalah semacam itu muncul, mereka biasanya bisa mendapat izin. Akibatnya, di luar Jawa tidak pernah ada keberadaan guru yang cukup. Guru dari Jawa kembali, dan wilayah Jawa kembali padat dengan guru,” papar Nunuk.
“Jadi sekarang ini, dalam penyiapan guru, kita memberikan preferensi kepada putra daerah untuk dapat membangun daerahnya sendiri,” pungkasnya.**
(ZS)