LINTAS7NEWS – Puluhan warga dan Mahasiswa memadati Aula Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Blitar pada Selasa, 22 Oktober. Dalam forum audiensi yang berlangsung hangat ini, mereka mengungkapkan keprihatinan mendalam terhadap salah satu perusahaan pengelolaan perkebunan yang dianggap tidak mematuhi regulasi yang ada.
Fokus utama diskusi adalah kewajiban perusahaan untuk menyediakan perkebunan plasma sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
Kelompok mahasiswa dari Front Mahasiswa Revolusioner (FMR) dan warga setempat menyajikan data-data konkret mengenai pengelolaan perkebunan di Desa Sumberasri, Kecamatan Nglegok. Septyani Dwi Ningrum, salah satu anggota FMR, menyoroti bahwa meski perusahaan mengelola lahan yang luas, kewajiban untuk menyediakan 20 persen lahan bagi perkebunan plasma sesuai dengan UU Cipta Kerja dan PP 26 tahun 2021 belum terpenuhi.
“Ironisnya, hingga saat ini belum ada langkah nyata dari perusahaan untuk mewujudkan hal ini,” ujarnya.
baca juga : Dari Kata ke Tindakan : KRPK dan FMR Desak Pemkot Blitar Selidiki Dugaan Korupsi!
Septyani menegaskan bahwa perkebunan plasma bukan hanya sekadar tanggung jawab sosial, tetapi juga merupakan fondasi penting dalam membangun hubungan harmonis antara perusahaan dan masyarakat.
“Tanpa adanya pembagian lahan melalui plasma, potensi konflik akan meningkat. Masyarakat bisa merasa terpinggirkan dan tidak mendapatkan akses yang seharusnya mereka miliki terhadap lahan yang produktif,” jelasnya.
Perkebunan di Kecamatan Nglegok awalnya mencakup area seluas 825 hektare. Namun, seiring berjalannya waktu, luas lahan berkurang akibat program redistribusi tanah dan pengurangan sekitar 10 hektare setelah perpanjangan hak guna usaha. Saat ini, perusahaan hanya mengelola 602 hektare, di mana seharusnya 120 hektare dialokasikan untuk perkebunan plasma.
“Sayangnya, hingga saat ini, belum ada inisiatif konkret dari perusahaan untuk merealisasikan hal tersebut,” tambahnya.
baca juga : Blitar Bergolak! KRPK dan FMR Serahkan Dokumen Dugaan Korupsi Dana Hibah Rp6 Miliar ke Kejari.
Septyani berharap pemerintah daerah dapat berperan aktif dalam menyelesaikan persoalan ini. “Kami berharap pemerintah menjadi jembatan untuk mengatasi ketidakadilan dalam pengelolaan perkebunan ini. Namun, jika tak ada solusi, kami siap membawa isu ini ke tingkat yang lebih tinggi,” tegasnya.
Dalam suasana yang penuh harapan dan semangat, para peserta audiensi bertekad untuk memperjuangkan hak dan kesejahteraan masyarakat.**(sd)