LINTAS7NEWS – Wakil Presiden Amerika Serikat (AS) JD Vance mengumumkan bahwa ia akan bergabung dengan istrinya, Usha Vance, dalam perjalanan ke Greenland pada Jumat (27/3/2025). Dalam video yang dirilis pada Selasa, Vance menjelaskan bahwa tujuan kunjungan ini adalah untuk memeriksa situasi di Greenland dan menegaskan komitmen AS terhadap keamanan wilayah tersebut. “Kami ingin memastikan bahwa keamanan rakyat Greenland terjaga demi kepentingan dunia secara keseluruhan,” ujar Vance.
Kunjungan ini menjadi perhatian setelah Presiden AS sebelumnya, Donald Trump, mengajukan gagasan kontroversial untuk menguasai Greenland, sebuah wilayah otonom milik Denmark yang kaya akan sumber daya alam. Greenland memiliki posisi strategis sebagai jalur akses maritim menuju Arktik dan merupakan wilayah yang semakin dilirik oleh negara-negara besar seperti China dan Rusia. Hal ini membuat wilayah tersebut sangat penting bagi kepentingan geopolitik global.
baca juga : Trump ‘Happy’ Twitter Dibeli Elon Musk tapi Tetap Pilih Truth Social
Vance menjelaskan bahwa kunjungannya ke Greenland akan difokuskan pada Pangkalan Luar Angkasa Pituffik di pesisir barat laut Greenland, yang merupakan pangkalan militer AS. Kunjungan ini tidak membutuhkan undangan resmi dari pemerintah Greenland, karena berdasarkan perjanjian pertahanan antara AS dan Denmark yang telah ada sejak 1951, AS berhak mengakses fasilitas pertahanan di wilayah tersebut. Namun, meskipun demikian, keputusan ini tetap menimbulkan ketegangan dengan pemerintah Greenland dan Denmark.
Pemerintah Greenland secara terbuka menyatakan penolakannya terhadap kunjungan ini. Mereka menegaskan bahwa tidak ada undangan yang dikeluarkan untuk kunjungan baik resmi maupun pribadi. Bahkan, Perdana Menteri Denmark, Mette Frederiksen, menyebut kunjungan ini sebagai “tekanan yang tidak dapat diterima.” Hal ini memperburuk hubungan yang sudah tegang antara AS dan sekutu-sekutunya di Eropa, terutama setelah sikap Trump yang konfrontatif terhadap negara-negara NATO.
Sebelumnya, Usha Vance merencanakan untuk mengunjungi Greenland dalam rangka mempelajari budaya lokal dan mengunjungi situs bersejarah. Namun, keikutsertaan suaminya dalam perjalanan ini menyebabkan perubahan fokus perjalanan tersebut, yang kini lebih mengarah pada isu keamanan dan ancaman terhadap wilayah tersebut. Vance menegaskan bahwa ia tidak ingin membiarkan istrinya berkunjung sendirian, terutama dengan situasi keamanan yang semakin kompleks di kawasan Arktik.
baca juga : Mengubah Arah : Kesuksesan Donald Trump dalam Menyita Perhatian dari Crypto.
Kunjungan ini semakin kontroversial mengingat ketegangan yang ada antara AS dan negara-negara sekutu, khususnya terkait dengan pengaruh China dan Rusia di wilayah tersebut. Vance juga menekankan bahwa sejumlah negara besar, termasuk China dan Rusia, telah menunjukkan minat yang lebih besar terhadap sumber daya alam dan jalur perairan di kawasan Arktik, yang bisa menjadi ancaman bagi keamanan AS dan Kanada.
Penasihat Keamanan Nasional AS, Mike Waltz, awalnya dijadwalkan ikut serta dalam kunjungan ini, namun namanya dihapus dari daftar setelah Vance mengumumkan bahwa ia akan bergabung. Sementara itu, meskipun banyak pihak menentang kunjungan ini, Profesor Marc Jacobsen dari Royal Danish Defense College mengonfirmasi bahwa Vance tetap diizinkan untuk mengunjungi Pangkalan Pituffik berdasarkan perjanjian pertahanan yang telah lama ada.
Namun, Dwayne Ryan Menezes, pendiri Polar Research & Policy Initiative, memperingatkan bahwa pendekatan agresif yang dilakukan oleh pemerintahan Trump terhadap Greenland bisa berbalik merugikan AS. Menurutnya, mengabaikan hubungan baik dengan sekutu, terutama Denmark, dapat melemahkan posisi AS di kancah internasional. Ia juga menilai bahwa langkah ini bisa merusak hubungan jangka panjang dan mengurangi pengaruh AS di wilayah Arktik.
baca juga : Tunggu Hasil Akhir Donald Trump Bicara tentang Pilpres 2024.
Pada masa pemerintahannya sebelumnya, Trump sempat mengajukan ide kontroversial untuk membeli Greenland, namun ditolak mentah-mentah oleh pemerintah Denmark dan rakyat Greenland. Kini, meskipun AS masih tertarik untuk memperkuat kehadirannya di wilayah tersebut, langkah yang diambil oleh Vance dan Trump justru memicu perdebatan terkait dampak kebijakan luar negeri AS terhadap hubungan dengan sekutu-sekutunya di Eropa.**
(sd)