Ancam Kebebasan Berpendapat BEM UI Minta Cabut Pasal 4 RKUHP

Nasional741 Dilihat
banner 468x60

Lintas7news.com – Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) meminta pemerintah dan DPR mencabut empat pasal dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang mengancam kebebasan berpendapat dan demokrasi.

Ketua BEM Fakultas Hukum UI Adam Putra menyebutkan empat pasal tersebut yakni Pasal 218, Pasal 240, Pasal 353, dan Pasal 354.

“Kami merekomendasikan agar di-drop seluruhnya. Agar dicabut saja jangan dimasukkan. Karena kami melihat betul bahwa ini mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi, khususnya kritik terhadap pemerintah dan akan mengancam demokrasi itu sendiri,” kata Adam dalam diskusi daring bersama Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Kamis (16/6).

Adam mengatakan Pasal 218 merupakan pasal yang sama dengan pasal penghinaan presiden yang dulu pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK).
Diketahui, Pasal 218 mengatur tentang penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil presiden. Orang yang melakukan tindak pidana di muka umum dapat dipidana paling lama 3 tahun 6 bulan dan denda maksimal Rp200 juta.

Pasal ini sempat ada dalam KUHP, tetapi dihapus MK pada 4 Desember 2006 melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006. MK menilai pasal penghinaan kepala negara itu menimbulkan ketidakpastian hukum lantaran parameter penghinaan tidak jelas.

MK juga menilai pasal tersebut mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi warga negara. Selain itu, pasal tersebut dinilai mengabaikan prinsip persamaan di depan hukum.

Oleh sebab itu, Adam mempertanyakan urgensi dari dihidupkannya kembali pasal yang sejak dulu kontroversial itu.

“Padahal pasal penghinaan yang secara khusus ditujukan kepada pribadi kodrat itu sudah ada. Jadi kami betul-betul mempertanyakan apa urgensi dari dihidupkannya kembali pasal ini,” ujarnya.

Dilansir dari CNNIndonesia.com – Adam juga menyoroti Pasal 240 yang mengatur tentang penghinaan terhadap pemerintah yang sah. Pasal 240 berbunyi, setiap orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau pidana denda paling banyak Rp200 juta.

Menurut Adam, kalimat ‘berakibat terjadinya kerusuhan’ dalam Pasal 240 bermasalah. Pemerintah perlu menegaskan kembali jenis dan bentuk kerusuhan yang dimaksud pasal tersebut.
“Kami khawatir bahwa dengan tidak dijelaskannya parameter kerusuhan ini nantinya apabila ada seseorang atau siapapun itu yang berpendapat, mengkritik pemerintah yang sah di sosial media dan viral, menimbulkan kehebohan di ranah elektronik, itu dapat juga dianggap sebagai kerusuhan,” tuturnya.

Selanjutnya, Adam menilai Pasal 353 dalam RKUHP tak relevan. Pasal 353 berbunyi setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak Rp10 juta.

“Padahal lembaga negara itu sangat wajar apabila kami kritik, kami pertanyakan,” ujarnya.

Adam juga menyoroti Pasal 354 RKUHP. Pasal itu mengatur hal yang sama dengan Pasal 353, tetapi lebih mengerucut dengan menyasar penghinaan di ranah elektronik.

Pada pasal tersebut, tak ada ketentuan mengenai delik aduan seperti di Pasal 353. Ia pun mempertanyakan absennya ketentuan yang berdampak besar tersebut.

“Dapat dibayangkan kekacauan yang dapat terjadi. Implikasi-implikasi buruk yang dapat terjadi terhadap demokrasi, terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi ketika siapapun, tidak harus lembaga negara yang bersangkutan, tapi siapapun bisa melaporkan seseorang atas penghinaan kekuasan umum atau lembaga negara di ranah elektronik. Kami menilai pasal ini sangat berbahaya,” katanya.

Adapun hingga saat ini draf RKUHP terbaru belum bisa diakses publik. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) masih menggodok RKUHP hasil perbaikan bersama Komisi III DPR.

Karena itu, Kemenkumham belum bisa menyebarluaskan draf RKUHP tersebut kepada publik.

Pembahasan RKUHP pada periode ini merupakan lanjutan dari periode 2014-2019. Saat itu, DPR dan pemerintah menunda pengesahan RKUHP karena ditolak publik di berbagai daerah.

(CNNIndonesia/NB)


banner 336x280
Bagikan Melalui

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *