Jakarta, 30/7 – Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menilai gugatan hukum atas kebijakan asimilasi dan integrasi narapidana terkait COVID-19 semestinya tidak perlu ada sejak awal, karena kebijakan itu telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Hal itu disampaikan Yasonna menjelang mediasi lanjutan gugatan asimilasi dan integrasi narapidana di Pengadilan Negeri Surakarta, Jawa Tengah, Kamis.
“Sejak awal memang tidak ada unsur perbuatan melawan hukum terkait kebijakan asimilasi dan integrasi ini. Justru kebijakan asimilasi dan integrasi narapidana berjalan sesuai ketentuan hukum,” kata Yasonna dalam keterangan tertulis.
Ketentuan hukum yang dimaksud yakni Permenkumham Nomor 10 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi serta Kepmenkumham Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui Asimilasi dan Integrasi dalam rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran COVID-19.
Sebagaimana diketahui, kebijakan Kemenkumham memberikan asimilasi dan integrasi kepada puluhan ribu narapidana sebagai upaya pencegahan penularan COVID-19 di lingkungan rutan atau lapas digugat oleh sekelompok advokat Kota Solo yang tergabung dalam Yayasan Mega Bintang Indonesia 1997, Perkumpulan Masyarakat Anti Ketidakadilan Independen, serta Lembaga Pengawasan dan Pengawalan Penegakan Hukum Indonesia.
Gugatan itu dilayangkan kepada Kepala Rutan Kelas I A Surakarta, Jawa Tengah, sebagai tergugat I, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Jawa Tengah sebagai tergugat II, Menteri Hukum dan HAM sebagai tergugat III, serta Kabapas Surakarta sebagai Tergugat IV.
Sidang pertama dan mediasi atas gugatan ini telah digelar pada 25 Juni 2020. Mediasi lanjutan semestinya digelar pada 9 Juli 2020, namun batal karena hakim mediasi berhalangan akibat sakit sehingga diundur sepekan.
Pada sesi mediasi lanjutan pada 16 Juli 2020, pihak penggugat mengajukan sejumlah syarat untuk dipenuhi terkait asimilasi dan integrasi narapidana. Adapun syarat tersebut adalah agar pihak tergugat membuka ruang komunikasi untuk saran dan masukan terkait pelaksanaan asimilasi dan integrasi serta memperketat syarat-syarat pelaksanaan program asimilasi.
Padahal, kata Yasonna, ruang komunikasi sudah dibuka sejak awal agar publik dan pihak-pihak terkait bisa memberikan saran, masukan, bahkan pengaduan terkait asimilasi dan integrasi COVID-19 ini.
“Kami pun telah berdiskusi dan meminta pendapat dari akademisi serta lembaga kredibel yang terkait, juga melakukan sosialisasi melalui website resmi, media massa, dan media sosial,” ucap dia.
Yasonna menjelaskan bahwa pengetatan pelaksanaan asimilasi dan integrasi dilakukan sejak awal, mulai dari prosedur pemberian, pertanggungjawaban keluarga narapidana, pengawasan narapidana asimilasi secara langsung maupun lewat panggilan video berkala dan mekanisme pengawasan daring lain, koordinasi dengan forkopimda serta lembaga penegak hukum lainnya.
“Evaluasi berkala pun terus kami lakukan untuk memastikan tujuan dari asimilasi dan integrasi ini terpenuhi,” kata menteri berusia 67 tahun tersebut.
Dengan pertimbangan tersebut, menurut Yasonna, sudah semestinya juga gugatan terhadap asimilasi dan integrasi terkait COVID-19 tersebut dicabut.
“Saya melihat tak ada alasan lain bagi penggugat untuk tidak mencabut gugatannya,” ucap Yasonna.
Lebih lanjut, Yasonna mengajak semua pihak untuk memusatkan energi pada penanganan penyebaran dan dampak pandemi COVID-19.
Pemerintah, kata dia, saat ini terus memusatkan perhatian dan upaya untuk mengatasi penyebaran maupun dampak sosial serta ekonomi yang disebabkan oleh COVID-19.
“Alangkah lebih baik bila energi yang ada kita pakai untuk bergotong royong mengatasi segala tantangan dan kesulitan sehingga bangsa ini secara bersama-sama bisa keluar sebagai pemenang dalam pertarungan melawan COVID-19,” kata dia.
(ANT/ZA)