Jakarta – Pemerintah China menyatakan tidak akan pernah mengekspor atau berniat untuk mencoba mengekspor jet tempur siluman J-20 ke negara mana pun.
Seperti dilansir dari cnnindonesia.com, Senin (5/10/2020) Setelah J-20 buatan Chengdu debut pada 2011, analis Barat berasumsi bahwa pesawat tempur bermesin ganda yang besar dan bersudut itu akan seperti kebanyakan senjata lainnya, yakni akan menjadi komoditas ekspor.
Tapi ternyata Beijing memutuskan untuk mempertahankan kemampuan militer kelas atas J-20 untuk negaranya sendiri. Menurut perkiraan pemerintah China, uang tunai yang didapat dari penjualan pesawat itu tak sepadan dengan menyerahkan rahasia pesawat tempur yang dapat menghindari radar tersebut.
Bukanlah sebuah kebetulan jika Amerika Serikat mengadopsi kebijakan serupa terkait pesawat tempur siluman F-22 miliknya.
Dalam wawancara pada Desember 2014 dengan program berita Phoenix TV China, mantan Perwira di kekuatan rudal strategis Beijing, Song Zhongping, mengungkapkan alasan di balik larangan ekspor tersebut.
“Ekspor teknologi militer China yang canggih (memang) dilarang. Ini untuk menjaga teknologi generasi kelima J-20 dari tangan musuh,” kata Song dikutip dari National Interest.
Alasan itu senada dengan yang dikutip oleh Kongres AS ketika secara resmi melarang penjualan pesawat tempur siluman F-22 pada pertengahan 2000-an. Padahal saat itu, Jepang telah mengajukan pembelian jet F-22.
Tapi sepertinya Tokyo terkadang menjadi rekan yang tak dapat diandalkan bagi AS dalam hal teknologi rahasia. Pada 2007, pihak berwenang Jepang menangkap seorang perwira kecil angkatan laut Jepang yang tampaknya mencoba menyampaikan informasi ke China di radar Aegis buatan AS.
Namun, sisi ironis dari pembatasan penjualan J-20 milik China adalah banyak pengamat yang sangat curiga bahwa insinyur Beijing mendapatkan desain pesawat tersebut dari sebagian data yang dicuri oleh peretas China dari program pesawat tempur siluman F-35 yang dipimpin AS.
Kendati ukurannya lebih kecil, lebih lambat, dan kurang bisa menghindari radar dibandingkan F-22, AS secara tegas mengatakan jika rancangan F-35 bisa diekspor dengan aman. Meski terdapat beberapa kekurangan, namun F-35 sudah dibekali dengan sensor canggih dan lapisan penyerap radar.
Dalam peristiwa apa pun, Song menjelaskan pembatasan J-20 bagaimanapun juga terhubung langsung dengan larangan ekspor F-22.
“Jika suatu hari AS memutuskan untuk mengekspor F-22, China mungkin mempertimbangkan untuk mencabut larangannya juga,” kata Song.
Kemungkinan alasannya adalah jika sekutu AS memiliki F-22, maka sekutu China juga membutuhkan J-20 untuk menyeimbangkannya. Alasan lainnya, jika F-22 berkembang biak, maka rahasianya pun akan berkembang biak pula dan meniadakan kebutuhan untuk membatasi penyebaran teknologi J-20 yang mungkin serupa.
Larangan ekspor J-20 bukan berarti China menyerah pada pasar global yang menguntungkan. Tak lama setelah debut J-20, Shenyang Aircraft Corporation meluncurkan prototipe pesawat tempur siluman FC-31 yang lebih kecil.
Tak seperti J-20 yang disponsori pemerintah, FC-31 benar-benar merupakan pesawat yang ingin dijual Shenyang ke luar negeri meski sejauh ini belum ada peminat. FC-31 mewakili peluang Beijing untuk bersaing di pasar dunia untuk kategori pesawat tempur yang dapat menghindari radar. Jika J-20 sensitif seperti milik F-22 AS, maka FC-31 yang dikomoditasi serupa dengan F-35 AS.
Angkatan Udara China mulai menerima salinan J-20 untuk digunakan di garis depan pada 2017, 12 tahun setelah F-22 mulai beroperasi. Pada akhir 2019, setidaknya ada 13 J-20 yang sudah beroperasi. Pihak angkatan udara juga telah memfokuskan upayanya untuk mengganti mesin AL-31 Rusia dengan WS-10 yang dibuat khusus.(*)