Lintas7News.com – Pemerintah Mesir membuka kembali pintu perbatasan Rafah menuju Jalur Gaza, Palestina, mulai Selasa (9/2) kemarin.
Dilansir dari CNNIndonesia.com Keputusan itu dilakukan berbarengan dengan proses dialog antara faksi-faksi politik di Palestina menjelang pemilihan umum di Kairo.
“Ini bukan pembukaan yang dilakukan secara rutin. Ini adalah pertama kalinya dalam beberapa tahun perbatasan Rafah dibuka tanpa batas,” kata seorang sumber, Rabu (10/2).
Menurut sumber, biasanya pintu perbatasan Rafah hanya dibuka tiga sampai empat hari dalam sepekan.
Rafah adalah pintu perbatasan satu-satunya bagi penduduk Jalur Gaza untuk bisa bepergian dari wilayah itu. Jalur Gaza adalah salah satu wilayah dengan penduduk terpadat di dunia, yakni dihuni sekitar dua juta penduduk Palestina.
Sebagian penduduk Gaza hidup di bawah garis kemiskinan.
Penduduk Jalur Gaza gembira menyambut pembukaan seluas-luasnya perbatasan Rafah.
“Saya sudah menunggu perbatasan dibuka selama enam bulan. Akibat penutupan itu, saya tidak bisa kuliah satu semester, saya harap pembukaan ini permanen,” kata seorang mahasiswa Jalur Gaza, Ibrahim al-Shanti (19).
Penduduk Gaza lainnya, Yasser Zanoun (50), mendesak para tokoh politik Palestina merundingkan permbukaan permanen perbatasan Rafah demi meringankan beban hidup penduduk setempat yang dibelit kemiskinan dan harus menghadapi pandemi virus corona.
“Perbatasan ini harus dibuka 24 jam sehari dan sepanjang tahun. Banyak kasus menyangkut kemanusiaan yang butuh penanganan,” kata Zanoun.
Perbatasan itu ditutup oleh Mesir dan Israel sejak 2007, saat terjadi pergolakan internal di Palestina antara faksi Fatah dan Hamas.
Saat itu Hamas menolak mengakui hasil pemilihan umum Palestina pada 2006, dan memutuskan menjalankan pemerintahan terpisah di Jalur Gaza. Israel melihat hal itu sebagai potensi ancaman dan memutuskan menutup perbatasan Rafah.
Sementara Fatah menjalankan pemerintahan di Tepi Barat.
Selain Fatah dan Hamas, faksi perjuangan Palestina yang menghadiri dialog itu adalah Jihad Islam hingga kelompok kiri, yakni Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (PFLP) dan Front Demokratik Pembebasan Palestina.
Dalam pertemuan itu, mereka membahas tata cara pemilihan legislatif yang direncanakan digelar pada 22 Mei dan pemilihan presiden pada 31 Juli mendatang.
Sedangkan proses pemilihan anggota Dewan Nasional Palestina direncanakan digelar pada 31 Agustus mendatang.
Proses rekonsiliasi antara kedua kelompok itu memakan waktu bertahun-tahun. Pada September 2020 lalu, Fatah dan Hamas sepakat dengan ide menggelar pemilu.
Sampai saat ini dunia hanya mengakui pemerintah Palestina yang berkuasa di Tepi Barat, yang dipimpin oleh Presiden Mahmoud Abbas dari faksi Fatah.
Pemilihan umum itu direncanakan akan digelar di Tepi Barat, Yerusalem Timur dan Jalur Gaza. Akan tetapi, Yerusalem saat ini masih berada dalam status quo karena diduduki Israel sejak 1967.
Meski masih terdapat perbedaan di antara faksi-faksi perjuangan di Palestina, mereka membutuhkan ajang politik ini untuk konsolidasi lembaga politik dan seluruh kelompok yang berada di dalam negeri, sebelum menghadapi perundingan damai dengan Israel.
Apalagi saat ini posisi Palestina bisa dibilang semakin tertekan karena sejumlah negara Arab dan mayoritas Muslim memutuskan melakukan normalisasi hubungan dengan Israel.
Kondisi itu bisa mempengaruhi daya diplomasi Palestina yang selama ini mendapatkan dukungan dari negara-negara Arab dan mayoritas Muslim.
Mesir selama ini bertindak menjadi penengah jika terjadi konflik internal Palestina, atau ketika Palestina bertikai dengan Israel.
(CNNIndonesia/ZA)