Lintas7News.com – Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai, hukuman banding yang diterima jaksa Pinangki Sirna Malasari seharusnya lebih berat karena statusnya sebagai aparat penegak hukum di Indonesia.
“Penegak hukum kita terlalu gegabah melihat tindak pidana yang dilakukan oleh seorang penegak hukum. Harusnya hukuman [banding] diperberat, bukan dipotong jadi empat tahun,” kata Fickar, Selasa (15/6).
Hukuman terhadap Pinangki dikurangi dari 10 tahun menjadi empat tahun penjara di tingkat banding. Dalam salah satu pertimbangannya, Pinangki adalah seorang ibu yang punya anak masih berusia empat tahun.
Dilansir dari CNNIndonesia.com – Fickar menilai, seharusnya hakim banding melihat status Pinangki yang ‘bukan orang biasa’ ketika menjatuhkan vonis banding.
Pinangki, kata dia, berstatus sebagai aparat penegak hukum yang memiliki kewenangan untuk menegakkan hukum di Indonesia. Namun Pinangki justru melakukan penyalahgunaan wewenang dengan melakukan tindak pidana korupsi menggunakan statusnya tersebut.
“Bahwa tiap orang punya keluarga, punya anak wajar saja, nggak bisa jadi alasan meringankan. Siapa pun begitu. Tapi Itu [Pinangki] penegak hukum yang punya kewenangan, kalaupun dia berbuat kejahatan itu harus jadi faktor memberatkan,” kata dia.
Lebih lanjut, Fickar menilai tindakan memotong masa tahanan menunjukkan hakim banding tak memiliki kepekaan. Terlebih, tindakan korupsi itu dilakukan oleh seorang aparat penegak hukum.
Menurutnya, kondisi ini sangat berbahaya bagi penegakan hukum kasus korupsi di Indonesia ke depannya.
“Artinya majelis hakim nggak punya sense of crisis terhadap situasi penyimpangan yang dilakukan penegak hukum,” kata Fickar.
“Ini Jadi peringatan bagi yang lain, ternyata penegak hukum juga pikiran atau semangat memberantas korupsi kurang. Malah dianggap biasa. Ini sangat jadi alarm keras bagi darurat pemberantasan korupsi,” tambahnya.
Terpisah, Juru Bicara Komisi Yudisial (KY), Miko Ginting mengatakan bahwa lembaganya tidak bisa menilai benar atau salah suatu putusan pengadilan atas putusan hakim banding terhadap Pinangki.
Miko menjelaskan KY berwenang apabila ada pelanggaran perilaku hakim dalam mengadili suatu perkara.
” KY berwenang apabila terdapat pelanggaran perilaku dari hakim, termasuk dalam memeriksa dan memutus suatu perkara,” ujar Miko dalam keterangan tertulis.
Miko menjelaskan bahwa KY diberikan kewenangan untuk menganalisis putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sebagai rekomendasi mutasi hakim.
“Keresahan publik terhadap putusan ini [banding Pinangki] sebenarnya bisa dituangkan dalam bentuk eksaminasi publik oleh perguruan tinggi dan akademisi. Dari situ, dapat diperoleh analisis yang cukup objektif dan menyasar pada rekomendasi kebijakan,” kata Miko.
(CNIndonesia/RI)