Belasan Petani Desak Perhutani Untuk Segera Memanen 20 Hektare Tanaman Sengon

Lintas7News.com – Situasi negara sedang sakit akibat pandemi membuat para petani kayu sengon di Desa Plandirejo, Kecamatan Bakung, Kabupaten Blitar gelap mata mencari penghasila untuk bertahan hidup. Harapan mereka kini tertuju pada Perhutani Blitar segera memanen 20 hektare tanaman sengon, agar mereka bisa mendapat penghasilan.

Didorong tuntutan kebutuhan hidup itu, Selasa (10/8/2021), sebanyak 20 petani yang menanam dan merawat ratusan pohon sengon selama lima tahun terakhir, menggeruduk kantor Perhutani Blitar.

Sebanyak 20 perwakilan petani penggarap lahan Perhutani itu diterima Agus Suryanan, wakil Adm Perhutani di Jalan S Supriadi, Kota Blitar. Desakannya sama, meminta Perhutani segera memanen tanaman sengon yang sudah berusia lima tahun.

Mereka didampingi M Trianto, koordinator LSM KRPK (Komite Rakyat Pemberantasan Korupsi). Beberapa petani menegaskan, desakan itu sebenarnya bukan karena tuntutan kebutuhan hidup saja, tetapi agar hutan sengon tidak telantar dan dijarah pencuri.

“Kami tidak ingin seperti kejadian di tempat lain. Seperti kami ini, bekerja sama dengan Perhutani. Namun karena tanaman yang kami rawat tidak segera ditebang, akhirnya kayu sengon itu menjadi sasaran pencurian,” ujar Aris (48), salah seorang petani saat berdialog dengan Agus.

Begitu juga Suwardi (42), petani lain, meminta agar tanaman sengon yang sudah waktunya dipanen segera ditebang. Itu karena rawan sasaran pencurian dan tidak ada yang menjaganya.

“Kalau tidak segera dipanen, menunggu apa lagi. Kalau kami punya wewenang menebangnya, langsung kami panen. Namun perjanjiannya meski kami yang menanam namun Perhutani yang berhak memanennya,” ungkap Suwardi.

Dilansir dari Surya.co.id  – Pemanfaatan lahan hutan atau lahan tidur di bawah wewenang Perhutani memang bisa dilakukan warga sekitar hutan lewat kerjasama.

Warga atau para petani bisa memanfaatkan lahan hutan yang kosong dengan ditanami kayu sengon. Namun saat waktunya memanen, para petani tidak punya wewenang menebangnya.

Yang berhak memanen dan menjualnya pohon itu adalah Perhutani dan petani hanya mendapat bagian saja. Padahal mulai penanaman dan perawatan kayu sengon di lahan seluas 20 hektare itu, semuanya dibebankan kepada petani.

Perhutani hanya selaku pemilik lahan, namun pembagian hasilnya sama dengan petani atau fifty-fifty.

Menanggapi keluhan para petani itu, Agus mengatakan pihaknya tidak ada masalah mau ditebang kapan saja. Hanya menurut Agus, kalau ditebang sekarang sepertinya kurang tepat karena Perhutani tidak menemukan pasar untuk menjual kayu-kayu sengon itu, dan harga kayu saat ini sedang turun.

“Kami bukan tidak mau memanennya karena sesuai perjanjiannya, di usia lima tahun, tanaman sengon itu harus dipanen. Tetapi kalau dipanen sekarang, terus mau dijual ke mana kayu itu?” ujar Agus.

Sementara, M Trianto mengatakan kasihan kepada para petani. Alasan lainnya, di saat pandemi seperti ini, mereka butuh biaya buat bertahan hidup. Satu-satunya harapan mereka agar bisa menghasilkan uang adalah menjual kayu sengon itu.

“Kami minta Perhutani memahami keadaan rakyat dan jangan bertahan dengan alasan harga kayu sedang murah. Tetapi rakyat butuh buat makan. Kalau mereka punya hak untuk menebang, itulah yang akan dipanen,” papar Trianto.

Menurutnya, dalam kerja sama seperti itu memang posisi petani kurang beruntung. Namun karena mereka butuh penghasilan dengan menanam kayu sengon, sehingga tak peduli hasilnya mereka tetap melakukannya.

“Dalam perjanjiannya, di usia lima tahun kayu itu harus dipanen. Dan terhitung sejak Juni lalu sudah lima tahun namun Perhutani tak juga memanennya,” paparnya.

Dijelaskan Trianto, lahan hutan yang ditanami kayu sengon itu seluas 20 hektare. Dan ada sekitar 20 petani yang menggarap serta menanggung semua biaya menanam hingga perawatan yang tidak sedikit.

Bahkan tak jarang, selama perawatan kemudian masih diperbantukan ke petani lainnya. Meski demikian, petani tidak punya wewenang untuk memanen karena itu hak perhutani.

Biasanya per hektare ditanami sekitar 400 batang sengon. Hasilnya sekitar Rp 45 juta sampai Rp 50 juta per hektare. “Karena sistemnya fifty-fifty, maka petani cuma dapat 25 juta, itu kalau laku Rp 50 juta,” pungkasnya.

(Surya/RI)

Bagikan Melalui

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.