Lintas7news.com – Rusia menegaskan hanya akan menggunakan senjata nuklir jika ada ancaman terhadap negara.
Juru bicara Kepresidenan Rusia, Dmitry Peskov, mengatakan Moskow tak akan menggunakan senjata pemusnah massal itu dalam perang yang tengah berlangsung di Ukraina.
Setiap hasil operasi (di Ukraina), tentu saja, bukan alasan untuk penggunaan senjata nuklir,” kata Peskov dalam sebuah wawancara kepada PBS Newshour di Kremlin pada Senin (28/3).
“Kami memiliki konsep keamanan yang sangat jelas menyatakan bahwa hanya ketika ada ancaman bagi keberadaan negara-negara kami, kami dapat menggunakan dan kami benar-benar akan menggunakan senjata nuklir utnuk menghilangkan ancaman atas keberadaan negara kami,” ucapnya menambahkan.
Pesko juga menyinggung pernyataan Presiden Amerika Serikat Joe Biden di Warsawa, Polandia, baru-baru ini.
Dalam pidatonya itu, Biden menyebut Presiden Rusia Vladimir Putin sebagai “tukang daging.
Biden bahkan memaparkan Putin tidak boleh berkuasa lagi sebagai Presiden Rusia.
“Itu cukup mengkhawatirkan,” kata Peskov.
Tak lama setelah pernyataan Biden keluar, pejabat Gedung Putih segera mengklarifikasi bahwa yang disebut sang presiden AS tak bermakna secara tekstual.
Ia menegaskan Amerika tak berniat menggulingkan rezim Putin di Rusia.
“(Maksud Biden) Putin tak bisa diizinkan memperluas kekuasaan di negara tetangganya atau wilayah lain,” jelas pejabat ini.
Sejumlah negara sekutu AS, seperti Jerman dan Prancis juga menyatakan hal serupa. Kanselir Jerman, Olaf Scholz mengaku telah berdiskusi dengan Biden mengenai hal tersebut.
“Itu bukan tujuan NATO, juga bukan Presiden Amerika Serikat (Joe Biden),” kata Scholz.
Dilansir dari CNNIndonesia.com – Sementara itu, Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan komentar Biden tak membantu upaya diplomatik lantaran ia sendiri masih terlibat dialog dengan Putin. Namun, dia juga mengatakan tujuan mereka bukan mengganti rezim.
“Tujuan kami untuk menghentikan perang yang diluncurkan Rusia di Ukraina, sembari menghindari perang dan eskalasi (yang meningkat),” ucap Macron.
(CNNIndonesia/RI)