Koalisi Petani Anti Korupsi Jawa Timur (Kapak Jatim) Beberkan Program Perhutanan Sosial

Mohammad Trijanto, memimpin Koalisi Petani Anti Korupsi Jawa Timur (Kapak Jatim) mengungkap carut marutnya program perhutanan sosial

LINTAS7NEWS – Koalisi Petani Anti Korupsi Jawa Timur (Kapak Jatim) mengungkap bobroknya program perhutanan sosial.

Hal ini terungkap dalam audiensi Kapak Jatim dan Komisi B DPRD Jatim, Senin (7/8/2023).

“Dalam aksi 27 Juli lalu, kami menuntut program reformasi agraria bebas KKN, pengelolaan perkebunan bebas KKN, mendesak pelaksanaan perhutanan sosial yang bebas KKN, hingga bongkar praktik mafia tanah. Artinya ada pihak terkait yang bisa kita ajak audiensi,” terang Koordinator Kapak Jatim, M. Trijanto.

Sayangnya dalam audiensi tersebut, 30 perwakilan petani dari daerah hanya ditemui oleh Nur Sucipto, anggota Komisi B sekaligus Sekretaris Fraksi Gerindra. Padahal menurut Trijanto, setidaknya ada lima instansi yang diajukan permohonan audiensi.

“Karena ini mendesak, kita ingin difasilitasi audiensi dengan Dinas Kehutanan, Kanwil BPN, Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan, dan BPSKL. Nyatanya yang kami temui di Komisi B tidak ada pihak-pihak terkait,” ujarnya.

Menurut Trijanto, agenda audiensi dengan menghadirkan instansi terkait sangat substansif karena menyangkut masalah petani di Jawa Timur.

Dia mencontohkan, di Dinas Kehutanan ada lompatan luar biasa mengenai kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Adalah pogram Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) dari KLHK mencapai 45,48 persen dari total keseluruhan yang digelontorkan di seluruh pulau Jawa.

Dan Jawa Timur termasuk provinsi paling banyak menerima program KHDPK dibanding provinsi lain.

Pengaturan KHDPK muncul dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, merupakan turunan UU Cipta Kerja. Substansi pengaturan ini adalah pemerintah pusat mengambil alih kewenangan pengelolaan hutan di Jawa sekitar 1,1 juta hektar dari Perum Perhutani. Kawasan hutan itu antara lain untuk kepentingan rehabilitasi hutan, dan perhutanan sosial.

Lebih detail pengaturan areal dan lokasi ditetapkan melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.287/2022.

“Program yang bagus ini harus ditopang dengan kebijakan Pemprov Jatim. Gubernur Khofifah pernah berjanji merevisi Perda Perhut. Tapi sampai sekarang belum ada kabarnya. Efeknya menjadi carut marut. Masyarakat tidak lagi menjadi subjek utama. Pemahaman program ini di tingkat bawah menjadi multitafsir. Kami ingin ada akselerasi kebijakan Perhut atau Perda. Sementara hingga sekarang belum terbentuk SK Pokja Pendamping. Padahal di wilayah lain seperti Jawa Barat dan Banten sudah terbentuk,” tegasnya.

Ditegaskan Trijanto, belum terbentuknya SK Pokja mengesankan masyarakat dibiarkan tanpa ada pendampingan dan tanpa ada manajerial pengelolaan hutan.

Sementara tujuan pendampingan perhutanan sosial secara umum dapat membantu percepatan program perhutanan sosial masyarakat penerima izin akses kelola hutan melalui melalui 3 kelola, kelola kelembagaan, kelola kawasan dan kelola usaha.

Sejauh ini, lanjut Trijanto, diperoleh data dari 347 kelompok perhutanan sosial (KPS), telah terbentuk Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) atau sebesar 53 persen dari jumlah KUPS di pulau Jawa.

“Dalam program Perhutanan Sosial, Presiden Jokowi telah menyerahkan Surat Keputusan (SK) Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS) pada masyarakat. Pemerintah sendiri telah mengalokasikan lahan untuk perhutanan sosial dalam bentuk lima skema yaitu Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Kemitraan Kehutanan, dan Hutan Adat. Di Jawa Timur sudah ada pelepasan 2.800 ha tahap pertama dari 502 ribu ha untuk perhutanan sosial. Jika ini tidak ditindaklanjuti hingga November 2023, maka akan ada gejolak di masyarakat sebab lahan tersebut akan diambil lagi oleh negara,” urai Trijanto.

Ditambahkan Trijanto, saat ini memang banyak pihak-pihak yang tidak setuju dengan adanya program perhutanan sosial dan reforma agraria. Pada akhirnya muncul banyak penyimpangan.

Sejauh ini, lanjut Trijanto, diperoleh data dari 347 kelompok perhutanan sosial (KPS), telah terbentuk Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) atau sebesar 53 persen dari jumlah KUPS di pulau Jawa.

“Dalam program Perhutanan Sosial, Presiden Jokowi telah menyerahkan Surat Keputusan (SK) Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS) pada masyarakat. Pemerintah sendiri telah mengalokasikan lahan untuk perhutanan sosial dalam bentuk lima skema yaitu Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Kemitraan Kehutanan, dan Hutan Adat. Di Jawa Timur sudah ada pelepasan 2.800 ha tahap pertama dari 502 ribu ha untuk perhutanan sosial. Jika ini tidak ditindaklanjuti hingga November 2023, maka akan ada gejolak di masyarakat sebab lahan tersebut akan diambil lagi oleh negara,” urai Trijanto.

Ditambahkan Trijanto, saat ini memang banyak pihak-pihak yang tidak setuju dengan adanya program perhutanan sosial dan reforma agraria. Pada akhirnya muncul banyak penyimpangan.

“Kami dukung adanya pengawasan menyeluruh untuk pengelolaan lahan rakyat. Pasalnya, masih terjadi di lapangan satu komoditas dikelola oleh dua instansi. Tidak ada sinkronisasi. Saya sendiri sudah beberapa kali mengingatkan dinas-dinas terkait masalah ini,” kata Sucipto.

Masalah pupuk juga demikian. Sucipto menyebut pupuk di tingkat petani sulit ditemukan.

“Pupuk ibarat demit, sulit ditemukan. Dari kementerian jatahnya hanya 60 persen. Akibatnya terjadi gejolak. Karena itu kami dukung kawan-kawan petani untuk menyampaikan aspirasinya. Bagaimana juga petani adalah pahlawan yang siapkan makan kita,” ujarnya.

Untuk pertemuan mendatang, pihaknya telah mengagendakan audiensi perwakilan para petani dengan dinas terkait untuk membahas masalah perhutanan sosial dan reforma agraria.

“Kami akan hadirkan dinas terkait untuk bertemu perwakilan petani Jawa Timur, mulai Kehutanan, Pertanian, Perkebunan, BPN, dan BPSKL pada 14 Agustus mendatang,” pungkasnya.**

(OAS/NA)

Bagikan Melalui

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.