Lintas7News.com – Pengungsi Rohingya menggugat Facebook sebesar $150 miliar atau setara Rp2.165 triliun karena menilai perusahaan itu gagal membendung penyebaran ujaran kebencian di platformnya.
Kegagalan Facebook membendung ujaran kebencian tersebut menyebabkan aksi kekerasan terhadap etnis minoritas di Myanmar itu.
Gugatan yang diajukan di pengadilan California ini mengklaim algoritma Facebook mempromosikan disinformasi dan pola pikir ekstremis yang kemudian menyebabkan kekerasan di dunia nyata.
“Facebook seperti robot yang diprogram untuk misi tunggal: untuk bertumbuh. Realitas yang tak terbantahkan adalah pertumbuhan Facebook dipicu oleh kebencian, perpecahan, dan misinformasi, menyebabkan ratusan ribu nyawa masyarakat Rohingnya hilang setelahnya,” kata dokumen gugatan tadi.
Dilansir dari CNNIndonesia.com – Mereka mengklaim algoritma Facebook membuat pengguna yang rentan masuk ke dalam kelompok yang jauh lebih radikal. Situasi ini kemudian rentan dipergunakan oleh politisi dan rezim yang otokratis.
Sampai saat ini, Facebook masih belum merespons gugatan ini.
Kelompok hak asasi manusia telah lama menggugat Facebook karena tak berbuat cukup untuk mencegah penyebaran misinformasi di platform itu. Ada juga yang menilai Facebook membiarkan informasi palsu tadi berkembang dan memengaruhi kehidupan minoritas.
Facebook juga mendapatkan tekanan dari Amerika Serikat dan Eropa untuk menghambat penyebaran informasi palsu di platform mereka, khususnya terkait Covid-19 dan pemilihan umum.
Etnis Rohingya sendiri merupakan kelompok Muslim yang kerap mendapatkan diskriminasi di Myanmar. Mereka dianggap sebagai penyelundup walaupun telah lama tinggal di negara itu.
Ada kelompok etnis Rohingnya yang pergi dan tinggal di kamp pengungsian akibat kampanye militer Myanmar yang dinilai PBB merupakan bentuk genosida terhadap etnis itu.
Sementara itu, masyarakat Rohingya yang memutuskan tinggal di Myanmar tak diizinkan mendapatkan kewarganegaraan dan menjadi subjek kekerasan komunal.
Tahun lalu, seorang whistleblower yang sempat bekerja di Facebook mengatakan bahwa perusahaan itu tahu situs mereka dapat membahayakan beberapa orang dari miliaran pengguna. Namun, eksekutif perusahaan itu memilih mengejar pertumbuhan dibandingkan keamanan.
Whistleblower Frances Haugen mengatakan kepada Kongres AS pada Oktober bahwa Facebook memicu terjadinya kekerasan etnis di beberapa negara.
(CNNIndonesia/RI)