Jakarta, 20/1— Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak agar pemerintah segera merevisi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Namun, ICW meminta agar hukuman mati dihapuskan dari undang-undang tersebut. Apa alasannya?
Hukuman mati bagi koruptor sejatinya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tepatnya pada Pasal 2 ayat 2. Namun, ICW justru meminta agar pasal tersebut dihapuskan.
“Karena pada dasarnya kalau kita mengacu pada declaration of human rights, tidak ada satu pun otoritas yang berhak untuk mencabut nyawa seseorang. Yang berhak mencabut nyawa itu Tuhan. Yang kedua, tidak ada satu pun penelitian yang bisa membuktikan bahwa pidana mati itu memberikan efek jera yang maksimal terhadap sebuah negara. Itu tidak terbukti hari ini di tataran internasional, di negara-negara yang menganut hukuman mati,” ungkap Peniliti ICW Kurnia Ramadhana saat jumpa pers di kantor ICW, Jl. Kalibata Timur IVD No. 6, Jakarta Selatan.
Menurut Kurnia, alasan itu bisa dilihat dari indeks persepsi korupsi negara-negara yang mengatur hukuman mati. Faktanya, indeks persepsi korupsi negara-negara tersebut ternyata tidak lebih baik daripada Indonesia yang belum pernah menjatuhkan hukuman mati.
“Jadi lebih baik ke depan hukuman mati ini dihapus dari undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi,” tegasnya.
Kurnia mengaku, pihaknya sejak dulu sudah mendesak agar pemerintah merevisi Undang-Undang Tipikor, bukan malah merevisi Undang-undang KPK seperti sekarang. Sebab, tidak ada urgensinya merevisi Undang-Undang KPK. Yang lebih urgen pemerintah seharusnya merevisi Undang-Undang Tipikor.
Revisi Undang-Undang KPK menurutnya terjadi lantaran Pemerintah dan DPR tidak pernah mengagnggap masukan-masukan dari KPK.
“KPK secara kelembagaan sudah mengatakan ini urgensinya hukum meteril nih direvisi, bukan UU KPK. Tapi faktanya, jangankan diajak membahas substansi, untuk merencanakan saja KPK tidak diajak oleh DPR dan Pemerintah, dalam konteks revisi UU KPK tahun 2019 kemarin,” jelasnya.
Untuk diketahui, hukuman mati bagi koruptor telah diatur dalam pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang berbunyi:
Pasal 2
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. (AK)