Jakarta – Omnibus law RUU Cipta Kerja telah resmi disahkan di rapat paripurna DPR kemarin. Namun, ada sejumlah pasal yang menjadi sorotan.
Seperti dilansir dari detik.com, Selasa (6/10/2020) Kesepakatan soal RUU ini diambil dalam rapat paripurna yang digelar di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020).
Turut hadir dalam rapat Menko Perekonomian Airlanga Hartarto, Menaker Ida Fauziyah, Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar, Menkeu Sri Mulyani, Mendagri Tito Karnavian, Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil, dan Menkum HAM Yasonna Laoly.
Ada 7 UU yang dikeluarkan dari pembahasan RUU Cipta Kerja, utamanya UU tentang pendidikan, serta 4 UU yang dimasukkan dalam pembahasan. Ada pula perubahan mengenai jumlah bab dan pasal dalam RUU Cipta Kerja.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengapresiasi pembahasan RUU Cipta Kerja di Baleg DPR secara terbuka.
Usai Airlangga menyampaikan pendapat mewakili pemerintah, Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin meminta persetujuan anggota Dewan yang hadir untuk pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU. Pertanyaan itu mendapat persetujuan dari anggota DPR di ruang rapat.
“Perlu kami sampaikan berdasarkan yang telah kita simak bersama. Sekali lagi saya memohon persetujuan di forum rapat paripurna ini, bisa disepakati?” tanya Azis.
“Setuju,” jawab anggota Dewan yang hadir.
Kendati demikian, terdapat sejumlah pasal yang terus disorot. Berikut ini beberapa pasalnya:
- Pasal Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Salah satu pasal UU Ciptaker merevisi UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), termasuk pasal sakti penjerat pembakar hutan.
Berdasarkan draf RUU Cipta Kerja yang dikutip detikcom, Senin (5/10), salah satu pasal yang direvisi adalah Pasal 88 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang dikenal dengan Pasal Pertanggungjawaban Mutlak.
Pasal 88 berbunyi:
Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.
Dalam draf RUU Cipta Kerja, Pasal itu diubah menjadi:
Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya.
Sebagaimana diketahui, Pasal 88 UU PPLH itu digunakan pemerintah untuk menjerat para perusak dan pembakar hutan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) saat ini sedikitnya mengantongi putusan dengan nilai ganti rugi hingga Rp 18 triliun dari pembakar/perusak hutan. Meski belum seluruhnya dieksekusi, namun putusan pengadilan ini memberikan harapan bagi penegakan hukum lingkungan.
Pasal di atas pernah digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) pada 2017. Mereka meminta pasal itu dihapus karena merugikan mereka. Di tengah jalan, gugatan itu dicabut.
- Pasal Pendidikan
DPR menyatakan klaster pendidikan telah dikeluarkan dari Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Kini DPR telah mengesahkan RUU itu menjadi UU. Ternyata pasal yang mengatur soal pendidikan masih ada dalam UU Cipta Kerja.
Masalah ini menjadi sorotan Perkumpulan Keluarga Besar Tamansiswa (PKBTS). Mereka terkejut mengetahui draf final yang disahkan menjadi undang-undang itu ternyata masih mengatur soal pendidikan.
“Pihak DPR pun telah membuat pernyataan ke publik bahwa klaster Pendidikan telah dikeluarkan dari pembahasan RUU Cipta Kerja. Namun yang membuat kami kaget, draf final RUU Cipta Kerja yang akan disahkan dalam Sidang Paripurna DPR RI, paragraph 12 pasal 65 masih mengatur mengenai perizinan sektor pendidikan melalui Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam UU Cipta Kerja,” kata Ketua Umum PP PKBTS, Cahyono Agus dalam keterangan pers tertulis, Senin (5/10).
Berikut adalah pasal soal pendidikan dalam draf RUU Cipta Kerja yang dimaksud:
Paragraf 12
Pendidikan dan Kebudayaan
Pasal 65
(1) Pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
(2) Ketentuan lebih lanjut pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
” Keberadaan pasal ini sama saja dengan menempatkan pendidikan sebagai komoditas yang diperdagangkan untuk mencari keuntungan, mengingat, sesuai dengan pasal 1 huruf d UU No 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan, mendefinisikan ‘usaha’ sebagai setiap tindakan, perbuatan atau kegiatan apapun dalam bidang perekonomian, yang dilakukan oleh setiap pengusaha untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba,” kata Cahyono Agus.
- Pasal soal Pesangon
Yang juga dipermasalahkan dalam UU Ciptaker adalah pesangon pemutusan hubungan kerja (PHK) yang diturunkan dari 32 kali upah menjadi 25 kali upah, dengan rincian 19 kali upah ditanggung pemberi kerja dan 6 kali upah ditanggung melalui program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar mengatakan besaran pesangon tersebut hanya untuk pekerja dengan waktu kerja di atas 24 tahun dan dengan alasan tertentu. Jadi, besaran pesangon tersebut sebenarnya juga tidak bisa dinikmati oleh semua pekerja selama ini.
“32,2 kali upah itu adalah pesangon paling tinggi dan itu didapat untuk pekerja-pekerja yang punya usia kerja 24 tahun ke atas. Alasan PHK-nya juga tertentu, satu karena meninggal dunia, dua karena pensiun, tiga karena di PHK karena efisiensi, empat karena perusahaan merger tidak boleh ikut perusahaan baru, jadi tidak seluruh PHK (dapat 32,2 kali upah),” kata Timboel, Senin (5/10/2020).
Jika dibuat simulasi, maka begini jadinya. Seorang pekerja sebut saja Andin memiliki gaji pokok sesuai upah minimum provinsi (UMP) Jakarta saat ini Rp 4,2 juta. Setelah bekerja selama 8 tahun 3 bulan, dia terpaksa berhenti kerja karena perusahaan melakukan efisiensi. Berapa uang pesangon yang diterima Andin?
Berdasarkan draft RUU Cipta Kerja yang diterima detikcom dari sumber, Senin (10/5/2020), dengan masa kerja 8 tahun atau lebih, Andin mendapat pesangon 9 bulan upah. Di dalam UU Nomor 13 2003 yang dulu, jika pekerja kena PHK dengan alasan efisiensi maka perusahaan berhak memberikan 2 x 9 bulan upah = 18.
Ditambah dengan uang penghargaan masa kerja yang termasuk 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 tahun, Andin mendapat 3 bulan upah. Itu berarti 18 (pesangon) + 3 = 21.
Jika sudah ditentukan jumlah pesangon (21), dikalikan dengan gaji Andin Rp 4,2 juta = Rp 88,2 juta, segitu uang pesangon yang diterima Andin.
Selain itu, berikut perhitungan uang pesangon paling sedikit:
a. Masa kerja kurang dari 1 tahun, 1 bulan upah.
b. Masa kerja 1 tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 tahun, 2 bulan upah.
c. Masa kerja 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun, 3 bulan upah.
d. Masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 tahun, 4 bulan upah.
e. Masa kerja 4 tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 tahun, 5 bulan upah.
f. Masa kerja 5 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 tahun, 6 bulan upah.
g. Masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 tahun, 7 bulan upah.
h. Masa kerja 7 tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 tahun, 8 bulan upah.
i. Masa kerja 8 tahun atau lebih, 9 bulan upah.
Sedangkan perhitungan uang penghargaan masa kerja ditetapkan berdasarkan:
a. masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun, 2 bulan upah.
b. masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 tahun, 3 bulan upah.
c. masa kerja 9 tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 tahun, 4 bulan upah.
d. masa kerja 12 tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 tahun, 5 bulan upah.
e. masa kerja 15 tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 tahun, 6 bulan upah.
f. masa kerja 18 tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 tahun, 7 bulan upah.
g. masa kerja 21 tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 tahun, 8 bulan upah.
h. masa kerja 24 tahun atau lebih, 10 bulan upah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran uang pesangon serta uang penghargaan masa kerja ketika terjadi PHK diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).(*)