Lintas7news.com – Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengkritik sikap Mahkamah Konstitusi (MK) saat sidang gugatan presidential threshold dalam UU Pemilu yang diajukan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Dalam sidang itu, Hakim Enny Nurbaningsih mempertanyakan mengapa PKS menggugat padahal dulu ikut membahas pembuatan UU tersebut di DPR.
“Ada lagi hal yang perlu dikuatkan dalam kedudukan hukum bahwa PKS ini adalah partai yang turut serta dalam proses pembahasan UU Nomor 7 Tahun 2017,” ucap Enny pada sidang virtual, Selasa (26/7).
Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini mengamini PKS terlibat dalam pembahasan UU Pemilu. Namun, ia mengatakan MK harus melihat sikap empat partai saat pengesahan UU Pemilu.
Selain PKS, ada Partai Gerindra, Partai Demokrat, dan PAN yang memilioh walk out saat pengesahan. Titi menyebut dari sikap tersebut jelas bahwa empat partai itu telah memperjuangkan penolakan terhadap presidential threshold, tetapi kalah suara.
“Ketika pengambilan keputusannya tidak diambil secara bulat, artinya kan ada ketidaksepahaman di dalam merumuskan kebijakan ambang batas pencalonan presiden,” kata Titi, Rabu (27/7).
Titi berpendapat MK tak bisa menolak gugatan hanya karena PKS terlibat dalam pembahasan. Menurutnya, alasan itu berbahaya bagi proses pembentukan undang-undang di masa mendatang.
“Siapa pun yang mayoritas di DPR, bisa menentukan norma, dan itu dianggap konstitusional oleh MK, menghilangkan ruang bagi parpol untuk berjuang mewujudkan pengaturan yang konstitusional,” ujar Titi.
MK sendiri telah belasan kali menyidangkan gugatan presidential threshold 20 persen dalam UU Pemilu. Namun, MK tidak mengabulkan satu pun gugatan tersebut.
Sebagian gugatan ditolak MK karena alasan kedudukan hukum atau legal standing pemohon. Misalnya, gugatan UU Pemilu yang diajukan mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo.
Hakim Konstitusi Enny saat itu mempertanyakan apakah Gatot punya kerugian konstitusional karena aturan itu. Bahkan, Enny bertanya apakah Gatot pernah gagal mencalonkan diri sebagai presiden karena presidential threshold.
Soal legal standing ini, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Parahyangan, Asep Warlan Yusuf pernah mendorong agar pasal syarat pencalonan presiden di UU Pemilu digugat oleh partai politik di parlemen. Dengan demikian, legal standing tidak bisa lagi jadi alasan hakim MK untuk menolak gugatan.
“Kalau misalnya soal legal standing, disebut tidak ada hubungan hukum hak konstitusional yang dilanggar, maka strateginya adalah [pemohon] dari partai politik yang tidak setuju dengan itu. Misalnya kader partai menggugat itu ke MK,” kata Asep, awal Januari 2022.
Legal standing merupakan keadaan di mana seseorang atau suatu pihak ditentukan memenuhi syarat. Oleh karena itu memiliki hak untuk mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi.
Menurut Asep, jika pemohon berasal dari partai kecil atau partai yang tidak banyak memiliki kursi DPR, maka jadi memiliki legal standing.
Alasannya, pencalonan presiden dalam UU No. 7 tahun 2017 itu mensyaratkan 20 persen kursi DPR atau meraih 25 persen suara nasional dari pemilu sebelumnya. Ketentuan itu, kata Asep, melanggar hak konstitusional kader partai kecil yang ingin menjadi capres.
“MK kan ingin bukti bahwa ada hak konstitusionalnya dilanggar, maka kalau dia kader partai itu bisa. Jadi ‘karena saya berkepentingan, saya sebagai kader, saya bisa diusulkan oleh partai saya, tapi karena partai saya kecil jadi hilang kesempatan saya untuk jadi presiden atau wapres’, seperti itu,” jelas Asep.
Dilansir dari CNNIndonesia.com – Perludem pada 14 Januari lalu juga menyebut empat partai politik pemilik kursi di DPR memiliki legal standing atau kedudukan hukum jika menggugat syarat pencalonan presiden atau presidential threshold ke Mahkamah Konstitusi.
Partai-partai yang dimaksud antara lain PKS, PAN, Demokrat dan Gerindra. Titi Anggraini menyebut empat partai itu walk out saat pembahasan UU No. 7 tahun 2017 lalu, sehingga memiliki legal standing jika menggugat ke MK.
“Menurut saya, empat partai yang walk out saat pengesahan pasal ambang batas pencalonan presiden dalam UU No. 7 Tahun 2017 lalu, memiliki dasar kuat untuk menguji konstitusionalitas pasal tersebut ke MK,” kata Titi.
Kini, setelah PKS yang dianggap memiliki legal standing kuat menggugat presidential treshold, MK justru mempertanyakan soal keikutsertaan PKS dalam merumuskan UU Pemilu.
(CNNIndonesia/RI)