Jakarta – Wakil Menteri Luar Negeri RI Mahendra Siregar blak-blakan menjelaskan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja kepada investor asing, terutama terkait lingkungan dan ketenagakerjaan.
Seperti dilansir dari cnnindonesia.com (9/10/2020) Dia mengatakan banyak para pelaku bisnis dari sejumlah negara merasa khawatir dengan dua fokus elemen tersebut.
“Kekhawatiran yang dimiliki oleh pihak-pihak ini kebanyakan fokus pada dua elemen dari Omnibus Law, yakni terkait lingkungan dan isu-isu ketenagakerjaan,” ujarnya dalam acara “Indonesia-US Virtual Business Meeting” yang diselenggarakan secara daring, Jumat (9/10).
Mahendra menuturkan pihaknya telah menerima sejumlah surat, pesan, dan surat terbuka dari sejumlah negara di dunia, termasuk 36 portofolio investors dan 23 perusahaan dan asosiasi yang telah menjadi pembeli produk-produk ekspor asal Indonesia.
Dia menjelaskan bahwa UU Ciptaker merevisi sekitar 80 UU lain yang sudah ada guna memperbaiki kepastian hukum dan untuk menangani ketidakselarasan antara UU. Selain itu, juga untuk menyederhanakan semua aktivitas bisnis, termasuk prosedur investasi.
Terkait isu lingkungan, Mahendra menegaskan bahwa Pasal 22 UU Ciptaker tetap mengharuskan penanam modal melakukan analisis dampak lingkungan (AMDAL) sebelum dapat memperoleh izin usaha.
“Analisis dampak lingkungan harus dilakukan secara ilmiah dan melibatkan semua pemangku kepentingan yang relevan, termasuk komunitas lokal yang berada di sekitar area proyek,” ujarnya.
“Apabila analisis tidak dilakukan, maka izin usaha akan dicabut,” kata dia.
Dia melanjutkan, pasal yang sama turut mengharuskan penanam modal untuk menyediakan pendanaan rehabilitasi lingkungan yang akan dialokasikan untuk merehabilitasi alam dari dampak berat yang mungkin terjadi akibat proyek investasi.
Selain itu, Mahendra juga menyinggung Pasal 36 UU Ciptaker yang memegang nilai strategis dari hutan tropis untuk melawan perubahan iklim, degradasi ekosistem, dan kepunahan hayati.
Adapun terkait isu ketenagakerjaan, dia menjelaskan bahwa Pasal 81 Omnibus Law memastikan jam kerja yang layak dengan tetap memberlakukan pembatasan, sebagaimana dituliskan dalam Pasal 77 UU nomor 13/2003, yakni tidak melebihi 48 jam per pekan dan dimandatkan oleh Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO).
“UU ini juga menetapkan jam kerja yang fleksibel bagi sejumlah sektor termasuk ekonomi digital, menjamin cuti untuk melahirkan, menyusui saat jam kerja, dan cuti untuk keperluan keluarga dan keagamaan,” kata dia.(*)