Lintas7News.com – Politikus Israel Naftali Bennett digadang-gadang bakal menjadi perdana menteri baru yang akan mengakhiri kepemimpinan Benjamin Netanyahu setelah 12 tahun menjabat.
Kepemimpinan Netanyahu tengah berada di ujung tanduk setelah koalisi partainya, Likud, kembali gagal membentuk kabinet pemerintahan meski meraup mayoritas suara dalam pemilu Maret lalu.
Pesaing utama Netanyahu, Yair Lapid dan partainya Yesh Atid, telah diberi mandat oleh Presiden Reuven Rivlin untuk membentuk pemerintahan baru hingga tenggat waktu Rabu (3/5).
Lapid juga tengah membujuk Naftali Bennett, dan partainya, Yamina, beserta politikus kaum Arab-Israel lainnya untuk membentuk koalisi tandingan Netanyahu.
Dilansir dari CNNIndonesia.com – Lapid bahkan telah menawarkan berbagi kekuasaan dan mengizinkan Bennett berkuasa sebagai PM selama satu periode yang nantinya akan digilir.
Bennett pun setuju bahwa dia akan bersatu dengan Lapid dalam membentuk koalisi kabinet.
Bennett merupakan politikus nasionalis garis keras. Selain terjun di dunia politik, ia juga merupakan miliarder di bidang teknologi.
Dia bercita-cita mengokupasi sebagian wilayah di Tepi Barat.
Dengan alasan keamanan, Bennett menganggap pembentukan negara Palestina sama saja bunuh diri bagi Israel.
Tahun lalu, saat Pemerintahan Netanyahu terus berusaha menganeksasi Tepi Barat, Bennett yang kala itu menteri pertahanan mengatakan usaha itu tak boleh dihentikan.
“Membangun momentum di negara ini tak boleh dihentikan, barang cuma sedetik,” katanya.
Rencana aneksasi itu akhirnya dibatalkan saat Israel meresmikan hubungan diplomatik dengan Uni Emirat Arab.
Para pengamat menilai kemungkinan aneksasi muncul kembali di bawah pimpinan penerus Presiden Amerika Serikat Donald Trump, Joe Biden.
Meski demikian, Palestina menganggap kemungkinan naiknya Bennett ke tampuk kekuasaan sebagai pukulan terhadap negara merdeka dan harapan damai yang dinegosiasikan sebelumnya.
Sebagai pendukung liberalisasi ekonomi, Bennett menyuarakan dukungan untuk memotong birokrasi dan pajak pemerintah.
Tak seperti beberapa mantan sekutunya, Bennett juga dinilai liberal dalam isu-isu seperti hak gay, hubungan antara agama dan negara, di negara yang mayoritas masih terpengaruh paham Ortodoks.
Bennett berusia 49 tahun, lebih muda dari pemimpin terlama Israel, Benjamin Netanyahu.
Imigran asal Amerika itu memiliki hubungan panjang dan rumit dengan Netanyahu. Sekitar tahun 2006 dan 2008, ia menjabat asisten senior pemimpin oposisi saat itu.
Di tahun 2013, Bennett merevolusi politik nasional. Saat itu, ia menjabat sebagai menteri pertahanan, serta menteri pendidikan dan menteri ekonomi di era Netanyahu. Dalam menjalankan tugasnya, ia mengubah partai pro pemukim.
Bennett menjadikan aneksasi bagian-bagian wilayah yang direbut Israel dalam perang tahun 1967, sebagai fitur utama dari platform politiknya.
Sebagai kepala “perubahan” yang mencakup partai-partai sayap kiri dan tengah, tindak lanjut aneksasi secara politis tidak mungkin dilakukan. Bennett sendiri mengandalkan dukungan di parlemen dari legislator Arab.
Kemarin, Minggu (30/5), Bennett menyampaikan baik sayap kanan dan kiri harus berkompromi dengan ideologi semacam itu.
Bennett lahir di kota Haifa, Israel. Ia juga merupakan imigran dari San Fransisco, Amerika Serikat. Dia tinggal bersama istrinya, Gilat dan keempat anaknya di pinggiran kota Raanana di tel Aviv.
Bennett juga merupakan penganut Yahudi Ortodoks modern yang religius.
Sebagaimana Netanyahu, Bennett fasih berbahasa Inggris dengan aksen Amerika. Hal itu lantaran dia menghabiskan masa kecilnya di Amerika Utara. Tempat orang tua menghabiskan cuti panjangnya.
Saat bekerja di sektor teknologi tinggi, Bannet sembari belajar hukum di Universitas Ibrani, Yerusalem. Tahun 1999, ia menciptakan start-up dan pindah ke New York.
Namun, pada tahun 2005 ia dilaporkan menjual perusahaannya, Cyota, ke perusahaan keamanan AS, RSA seharga $145 juta atau sekitar Rp2 triliun.
(CNNIndonesia/RI)
